Jumat, 23 Oktober 2015

Sejarah Masuknya Islam Di Lamakera

Penulis: Ahmad Yohan

Kepercayaan Masyarakat Sebelum Datangnya Islam
Kepercayaan nenek moyang masyarakat Lamakera sebelum kedatangan Islam adalah animisme. Sebagaimana masyarakat lainnya di wilayah Flores Timur, masyarakat Lamakera meyakini akan adanya kekuatan di luar diri manusia yang berkuasa, dan mempunyai wewenang untuk menentukan nasib baik dan buruk manusia. Keyakinan akan adanya kekuatan itu telah membentuk cara berfikir dan perilaku masyarakat Lamakera dalam mensikapi kehidupannya sehari-hari. Kekuatan yang sangat disakralkan itu adalah Rera Wulan Tanah Ekang[1] atau Tuhan Matahari, Bulan dan Tanah Air.
Upacara ritual keagamaan dilakukan di Kokar Bale yang berfungsi sebagai rumah ibadah dan tempat para sesepuh adat bermusyawarah mengenai suatu masalah atau persoalan-persoalan penting tentang urusan agama dan adat, yang kemudian hasilnya disampaikan kepada seluruh masyarakat. Upacara peribadatan dilakukan dengan penyembelihan hewan kurban seperti sapi, kerbau atau kambing untuk diletakkan di atas altar berupa batu hitam yang diberi nama Nuba Nara.[2]
Penyembelihan hewan kurban pada saat itu merupakan kewajiban para pemeluknya yang dilaksanakan dalam rangka pengabdian si hamba kepada sang penguasa atau zat yang diyakini dapat mendatangkan nasib baik dan akan mengabulkan keinginan si hamba. Hal ini biasanya dilakukan ketika masyarakat Lamakera hendak memulai bercocok tanam atau turun ke laut untuk menangkap ikan.[3]
     Masuknya Agama Islam
Seperti di kawasan Indonesia pada umumnya, awal masuknya Islam di Nusa Tenggara Timur melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang dan ulama. Pada abad XV, banyak para pedagang Islam dari berbagai wilayah di Nusantara, seperti para pedagang dari pulau Jawa, Sumatera dan Bugis Makasar yang melakukan perdagangan dan atau menyinggahi berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur sebagai tempat transit sebelum meneruskan pelayaran ke Maluku, Makasar ataupun ke bandar-bandar di pulau Jawa.[4]
Karena faktor tersebut agama Islam paling awal masuk di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah di sekitar bandar-bandar strategis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam. Tempat-tempat tersebut antara lain : Pulau Solor, Pulau Ende, Pulau Alor, Kota Kupang, dan pesisir utara Sumba Barat.[5]
Dari bandar-bandar strategis di atas, Pulau Solor merupakan tempat yang paling strategis bila ditinjau dari segi perdagangan karena berada pada posisi silang pelayaran dari bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke Maluku atau sebaliknya, dari bandar-bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke pulau Timor dan dari bandar di Makasar ke pantai utara Australia. Di samping itu di Lamakera terdapat pelabuhan alam yang bagus dan aman sebagai tempat persinggahan kapal dalam rangka menunggu cuaca dan angin yang tepat untuk berlayar. Itulah sebabnya Lamakera yang terletak di ujung timur pulau Solor sebagai tempat yang paling banyak dikunjungi para pedagang dan pelaut Islam dan merupakan salah satu tempat di NTT yang paling awal menerima agama Islam.[6]
Keberuntungan yang disebabkan oleh letak yang strategis dalam jalur perdagangan serta tersedianya pelabuhan alam yang aman telah menjadikan masyarakat Lamakera sebagai komunitas yang terbuka untuk menerima segala hal baru yang dibawa para pedagang yang hilir mudik tersebut. Apalagi tradisi raja Lamakera pada saat itu, adalah mengundang dan menjamu setiap saudagar dari luar yang singgah untuk berdagang dan atau sekedar berteduh dari gangguan musim angin yang kencang. Keramahan tuan rumah seperti yang dicontohkan sang raja tersebut, merupakan kesempatan yang baik bagi para pedagang Islam, untuk lebih mudah memperkenalkan Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera.[7]
Sekitar abad ke XV, seorang pedagang dari Palembang bernama Syahbudin bin Ali bin Salman Al Farisyi atau yang kemudian dikenal juga dengan Sultan Menanga, merupakan salah seorang tokoh perintis penyebaran agama Islam. Tokoh ini oleh Raja Sangaji Dasi diberi izin menetap di wilayah perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong. Di sana ia mendirikan perkampungan Islam yang diberi nama Menanga. Melalui pendekatan kekeluargaan, tokoh ini berhasil menjadi menantu kerajaan dengan mengawini putri dari adik Raja Sangaji Dasi.[8] Pada saat bersamaan, ia juga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Dengan keberhasilan meng-Islam-kan tokoh kunci yakni raja dan keluarganya, maka semakin lancarlah upaya penyebaran agama Islam bagi pengikut dan rakyat di kerajaan tersebut. kemudian pada tahun 1628, dibangunlah sebuah surau bagi pendukung pembinaan penyebaran agama Islam di Lamakera. Tokoh lain yang juga menjadi perintis penyebaran agama Islam di Pulau Solor adalah seorang ulama dari Ternate (Maluku) bernama Sutan Sahar dan istrinya yang bernama Syarifah al Mansyur.[9]
Kecerdasan para pedagang dan ulama dalam menjelaskan ajaran Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera, telah membuat Islam begitu mudah diterima dan dalam waktu yang tidak begitu lama penguasa dan masyarakat Lamakera yang sebelumnya merupakan penyembah Rera Wulan Tanah Ekang, menjadi penganut Islam yang taat.
            Penyebaran Agama Islam
Doktrin agama yang mewajibkan kepada setiap pemeluknya untuk menyampaikan suatu kebenaran walaupun hanya berupa satu kata kepada orang yang belum mengetahuinya menjadi landasan etik bagi penyebaran agama Islam. Karena penyebaran agama Islam di wilayah Nusa Tenggara Timur melalui jalan perdagangan, maka Lamakera sebagai salah satu pelabuhan yang paling sering disinggahi kapal dagang, menjadi tempat yang mempunyai peluang besar untuk bertemu dengan ajaran Islam. Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh para saudagar untuk menyampaikan kebenaran Islam dengan cara yang efektif yakni dakwah bil hal.
Penyebaran Islam di Lamakera dapat berjalan dengan baik dan cepat diterima oleh masyarakat Lamakera karena Sultan Menanga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Sepeninggal Sultan Mananga, maka untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, penyebaran agama Islam selanjutnya dilaksanakan oleh raja dan dibantu oleh Sultan Syarif Sahar.
Walaupun raja mempunyai kekuasaan dan wewenang yang kuat untuk memerintahkan masyarakatnya, namun dalam hal penyebaran agama Islam tetap dilakukan baik, arif dan bijaksana dengan seruan-seruan yang baik tanpa kekerasan serta pemaksaan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Raja Sangaji Dasi yang pada saat itu berkuasa, adalah tokoh yang disegani, ditaati dan mempunyai kharisma serta pengaruh yang sangat luas hingga seluruh wilayah Solor Timur, namun masih ada masyarakat di daerah-daerah kekuasaannya tetap menyembah Rera Wulan Tanah Ekang dan baru memeluk ajaran Islam setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berkembangnya pendidikan agama Islam di Solor Timur.[10]




[1] Abdul Sahar KS, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Lamakera”, Thesis Sarjana Pendidikan, (Kupang: Univ. Nusa Cendana, 1981), h. 46
[2] Ibid.
[3] Ibid
[4] Munanjar Widiyatmika, Sejarah Agama Islam di Nusa Tenggara Timur, (Kupang: ICMI Orwil NTT, 1995), h. 22
[5] Ibid.                                                                                                                                                    
[6] Ibid.
[7] Abd. Sahar KS., op. cit., h. 53-58.
[8] Ibid., h. 59.
[9] Munanjar Widiyatmika, op. cit., h. 22-23.
[10] Abd. Sahar KS., op. cit., h. 62-64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar