Rabu, 14 Mei 2014

The Third Way: The Renewal of Social Democracy

Saturday, October 27, 2007


Anthony Giddens—sebuah buku yang dianggap sebagai cetak-biru berbagai aliran tengah-kiri saat ini—menjadi salah satu pusat perhatian intelektual dan politikus di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Misalnya, tanggal 15 Februari 1999 lalu, harian Kompas menyelenggarakan ‘Diskusi Aktualisasi The Third Way’, sementara majalah Basis mengawali terbitan awal tahun 2000-nya dengan edisi khusus mengenai Anthony Giddens. Terakhir, Kompas memuat profil Anthony Giddens dalam edisi akhir Januari. Tulisan ini bukan hanya akan mengulas secara ringkas buku tersebut, melainkan menganalisis juga berbagai reaksi yang dilontarkan oleh para kritikus. Apakah pesan yang disampaikan Giddens dalam buku tersebut? Sebagian besar isi The Third Way adalah deskripsi keadaan pasca ‘kematian sosialisme’. Giddens merumuskan (lebih tepat lagi ‘merangkum’) lima permasalahan yang dihadapi dunia, yaitu:

• globalisasi yang mengubah makna dan rumusan konsep kebangsaan, pemerintahan dan kedaulatan (hal.28-33);
• munculnya individualisme baru. Ini bukan berarti manusia bertambah rakus melainkan solidaritas sosial tidak bisa lagi dijejalkan dari atas (hal.34-37);
• munculnya berbagai permasalahan yang membuat kategori kiri atau kanan dalam bidang politik menjadi tidak bermanfaat (hal.37-46);
• berkurangnya pengaruh pemerintah di berbagai bidang yang sudah diambil alih oleh badan non-pemerintah. Walaupun demikian masih ada bidang-bidang—seperti pertahanan dan hukum—yang hanya bisa ditangani pemerintah (hal.46-53); dan
• masalah lingkungan hidup yang walaupun sering dibesar-besarkan, tetap merupakan masalah yang nyata dan mempunyai potensi bahaya yang tinggi (hal.27-28).

Tidak perlu dijelaskan kembali bahwa kelima topik ini bukan merupakan hal yang baru.
Berbagai buku dan tulisan mengenai kelima topik tersebut sudah lama diperbincangkan dalam konteks manajemen, politik, ilmu sosial dan lingkungan hidup. Giddens menulis bagian ini seperti menulis buku teks (beberapa memang sudah ia tulis) yang penuh dengan rangkuman, garis besar, bahkan kotak-kotak kecil berisi daftar topik. Satu-satunya hal yang agak original adalah bagaimana ia memilih kelima permasalahan ini. Mengapa bukan tiga atau seratus? Apa gunanya memakai kelima kategori ini kalau Giddens sendiri mengakui semuanya saling terkait satu sama lain? (hal.64). Pilihan Giddens adalah original, karena ia mendeskripsikan berbagai masalah besar itu sebagai dilemma dan bukan crisis seperti buku-buku lain yang sejenis. Di tengah berbagai pesimisme intelektual, Giddens berani untuk optimis.

Giddens memberikan alasan bahwa kelima hal di atas penting dalam merumuskan politik Third Way. Dalam buku ini Giddens mencoba memberikan sebuah wajah konservatif kepada politik sosialis. Akibatnya, secara teoritis The Third Way-nya Giddens mempunyai banyak cacat yang sebagian besar berbentuk kontradiksi antara berbagai proposisi. Misalnya, di satu pihak Giddens menolak proteksionisme, dan di lain pihak menolak ekonomi pasar, hanya untuk menggantikannya dengan ekonomi yang inklusif (mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat). Giddens tidak mau mengakui bahwa seandainya idealisme seperti itu dipraktekkan, maka hal tersebut hampir identik dengan praktek sosialisme klasik. Satu hal yang tampaknya enggan diakui Giddens adalah bahwa selama sistem nilai kapitalisme masih berdasarkan prinsip akumulasi kekayaan, maka idealisme egalitarian secanggih apa pun, dalam prakteknya, masih harus mengikuti dikotomi pasar bebas lawan sistem sosialis. Hukum keterbatasan sumber daya akan membuat partisipasi maksimum masyarakat (baca: zero unemployment) yang dicita-citakan Giddens menjadi tidak realistis.

Contoh lain dari ketidakrealistisan saran-saran Giddens adalah kepercayaan yang terlalu berlebihan akan sistem demokrasi. Misalnya, dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, Giddens jelas-jelas memanfaatkan fobia massa akan kemajuan teknologi akhir-akhir ini, seperti kloning, rekayasa genetika, teknologi reproduksi, dan kemajuan lainnya. ‘Science and technology cannot stay outside democratic processes. Experts should be called upon to justify their conclusions and policies in the face of public scrutiny (p.59).’ Dalam sejarah kemanusiaan, hanya ada dua bidang yang sangat memerlukan kebebasan individu untuk bisa maju: seni dan ilmu pengetahuan. Kedua bidang ini memerlukan inovasi yang tidak mungkin muncul bila terlalu dikekang oleh masyarakat. Bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, memang benar. Tetapi, tanpa adanya batas yang jelas tentang hal-hal apa yang patut diregulasi oleh komunitas, maka sistem ini bisa terus kebablasan menjadi sistem otoriter. Memang benar bahwa penerapan teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari perlu semacam sistem accountability, tetapi apabila setiap kali seorang ilmuwan mengembangkan pengetahuan ia harus ‘justify their conclusions’, maka kasus-kasus penindasan seperti yang dialami Copernicus atau Galileo bisa terulang kembali. Ilmu pengetahuan dan populisme adalah kombinasi manjur untuk mundur ke belakang.

Bagi ilmuwan sosial yang membaca The Third Way (minimal kedua contoh di atas), kesan
yang diperoleh adalah bahwa Giddens tidak memiliki konsepsi dasar mengenai kekuasaan, maupun ketimpangan struktural (tidak mengherankan mengingat Giddens adalah salah seorang sosiolog neo-modernis pencipta ‘the grand narrative of reflexive modernity’). Tidak terpikirkan olehnya bahwa model Third Way-nya sangat tergantung dari ‘goodwill of the privileged’ dalam menolong masyarakat yang lemah. Apabila sejarah umat manusia menjadi patokan, frekuensi hal ini terjadi adalah sangat sedikit. Jujur saja, apakah masyarakat Eropa bersedia berhenti memakai toilet paper seandainya masyarakat di Asia berhenti menebang pohon untuk kertas? Apakah rakyat negara berkembang mau ikut program KB, sementara di Barat rakyat dianjurkan untuk melahirkan anak banyak? Dalam pemecahan kelima masalah versi Giddens, diperlukan kesediaan salah satu pihak untuk mau mengalah. Sayang, kemungkinan hal ini bisa terjadi dengan sendirinya adalah tipis sekali, apalagi dalam sistem politik demokrasi yang harus turut menjaga hak-hak pihak yang kuat.

Justru yang menarik sekali dalam buku ini adalah pendapat seorang ahli pemikir yang dikutip Giddens (hal.38-39). Giddens mengutip pendapat seorang pemikir politik dari Italia, Norberto Bobbio yang menulis sebuah buku (Bobbio 1996) yang menyatakan bahwa kategori kiri-kanan akan selalu relevan, karena politik itu harus selalu bersifat bertentangan (adversarial). Perbedaan ini bersifat bipolar, karena esensi politik adalah pergulatan antara pandangan dan kebijakan yang bertentangan. Tidak ada yang mempertanyakan kategori kiri-kanan bila kedua belah pihak kelihatan ‘sama kuat’. Tetapi, apabila salah satu pihak menjadi jauh lebih kuat daripada yang lain, maka kategori tersebut dipertanyakan oleh kedua belah pihak. Pihak yang kuat mencoba memberikan argumen ‘there is no alternative’ ala Margaret Thatcher, sementara pihak yang lemah mengambil alih beberapa pandangan dari pihak oposisi dan ‘menjualnya’ sebagai pandangan pihaknya sendiri. Ironis bahwa nampaknya, yang terakhir ini sedang berlaku, baik untuk Giddens maupun berbagai partai politik tengah-kiri yang sekarang sedang berkuasa. Ketika ideologi komunisme runtuh (kelihatannya bersama dengan sosialisme) dan kapitalisme plus liberalisme ‘menang’, maka partai-partai kiri terpaksa mengambil konsep-konsep kanan lalu menjualnya sebagai jalan alternatif atau The Third Way.

Dari segi pandang strukturalisme, dikotomi itu menunjukkan bahwa perang ideologi politik modern ternyata tidak banyak berbeda dengan versi masyarakat tradisional. Akan berbahaya bila pihak yang kuat melegitimasikan ideologinya dengan cara memberinya label sebagai jalan alternatif yang lebih baik daripada dua jalan yang saling beroposisi. Hal itu akan menyepelekan sistem check-and-balance, dan dengan mudah bisa mengarah ke sistem totalitarianisme. Sudah banyak pihak yang mencanangkan jalannya sebagai ‘jalan ketiga’. Terlepas dari buruk-baiknya, Nazisme Jerman, Fasisme Italia, Swadesi di India, Islam di negara-negara Muslim (Thohari 1999), pernah dikumandangkan sebagai jalan ketiga atau jalan tengah. Kita masih ingat bagaimana rezim Orde Baru memakai ‘ekonomi Pancasila’ sebagai jalan alternatif dari sistem perekonomian liberal dan komunisme. The Third Way-nya Giddens hanya satu dari sekian banyak ‘jalan ketiga’.

Tidak mengherankan bila kritikus Barat menuduh Giddens hanya memberikan ‘baju intelektual’ pada politik oportunistik Tony Blair (Bagehot 1998). The Third Way hanyalah salah satu dari berbagai usaha Giddens untuk meningkatkan peran LSE (London School of Economics yang saat ini diketuai Giddens) dalam kabinet pemerintahan Tony Blair. Sosiolog Jean Seaton menuduh Giddens sebagai seorang ‘postmodern opportunist’ yang menuntut hak sebagaimana suami isteri berhubungan tanpa tanggung jawab di satu pihak (dalam bukunya The Transformation of Intimacy), sementara di lain pihak menuntut ‘no rights without responsibilities’ dalam berpolitik (hal.65). The Third Way bisa tersebar luas karena diterbitkan oleh Polity Press yang dimiliki Giddens sejak 1985, dan didukung koneksi Giddens dalam ‘Tony’s Cronies’ (lingkaran orangorang yang kaya dan berpengaruh di sekitar pemerintahan Tony Blair). Laurie Taylor, wartawan The Guardian, pernah menyatakan bahwa untuk bisa mewawancarai Giddens perlu persiapan istimewa, termasuk hubungan kesejarahan, kerelaan untuk memasarkan LSE dan mempopulerkan The Third Way (Witdarmono 2000). Dapat kita lihat bahwa walaupun Giddens mempunyai reputasi sebagai sosiolog kondang, kritikus Barat cenderung mempertanyakan kredibilitas Giddens sebagai seorang policy-maker yang obyektif.

Nampaknya, kritikus Indonesia telah menerima bahwa konteks The Third Way adalah konteks negara maju yang tidak bisa sembarangan diterapkan di Indonesia (Basuki 2000; Hartiningsih 1999; Kaisiepo 1999; Redana 1999). Sangat disayangkan bahwa walaupun mereka tidak melihat The Third Way sebagai semacam obat quick-fix untuk permasalahan di Indonesia, mereka masih melihatnya sebagai produk Barat yang ‘otomatis’ dianggap penting dan harus dicari relevansinya dalam situasi dan kondisi di Indonesia. Mengapa harus top-down seperti itu? Bukankah lebih baik kalau kita membuat pengamatan dan merancang model sendiri yang kemungkinan besar lebih cocok daripada konsep impor seperti model Giddens?

Nampaknya, dunia intelektual Indonesia mempunyai persamaan dengan dunia hiburan: kedua-duanya sangat dipengaruhi trend dari dunia Barat. Setiap kali terjadi perubahan sosial-politik yang drastis di Indonesia, yang pertama kali dilakukan adalah pencarian ‘solusi’ di antara berbagai model yang ada di Barat. Ketika komunisme ‘runtuh’ di akhir dekade 80-an, akademis Indonesia aktif berpindah-pindah model, mulai dari yang berbau konfrontatif seperti Clash of Civilization-nya Samuel Huntington, sampai yang sangat conservative-utopian seperti The End of History-nya Francis Fukuyama. Apakah kita harus selalu mengambil model spekulatif dan tidak realistis, lalu mencoba mencocok-cocokkannya untuk diterapkan di Indonesia? Dengan kata lain, kritikus Indonesia masih mencerminkan herd-instinct dan sifat konsumerisme masyarakat Indonesia.

Yang lebih mencemaskan lagi dalam kritik-kritik terhadap Giddens di Indonesia adalah
kecenderungan berlebihan untuk menggarisbawahi perbedaan (difference) antara Barat dan Indonesia. Perbedaan ini sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Giddens dituduh sebagai seorang postmodern yang pesimis (Basuki 2000), padahal di Barat ia malah dianggap terlalu optimis. Hal ini mencemaskan, karena kecenderungan tersebut dapat menjurus ke konservatisme Indonesia sendiri.

Bukannya saya menganjurkan agar masyarakat Indonesia segera mem-Baratkan
diri (walaupun hal ini nampaknya sudah terjadi dengan sendirinya), tetapi fokus kepada perbedaan yang berlebihan bisa menghambat dinamika kehidupan politik dan intelektual di Indonesia. Hal ini sudah terlihat dalam berbagai konflik daerah yang terjadi akhir-akhir ini, tempat nilai-nilai lama yang usang digali kembali dan dipakai sebagai alat justifikasi tindak kekerasan.

Logika semacam ini harus diperangi. Dalam hal ini, dikotomi inclusion-exclusion yang dipakai Giddens (hal.104-111) sebenarnya dapat diterapkan. Alangkah baiknya jika kaum intelektual di Indonesia dapat menjadi salah satu panutan masyarakat dalam memperkecil fokus perbedaan, dan meningkatkan sikap inklusif dengan menonjolkan persamaan, baik di tingkat regional, nasional dan internasional. Bila hal ini dapat terjadi, maka berbagai model ‘jalan tengah’ yang terletak di antara model konfrontatif ala Huntington dan model konservatif ala Fukuyama akan dapat dikembangkan dan menghasilkan model yang lebih realistis, tidak seperti ‘obat’ yang dijajakan Giddens.

 

MARHAENISME

Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Untuk masa sekarang, ideologi ini telah berkembang dan dikenal dengan nama Marhaenisme Kekinian. Ideologi ini dikembangkan dari pemikiran presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ajaran ini awalnya bermaksud mengangkat kehidupan rakyat/orang kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa.

Etimologi

Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927.[1] Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.
Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.[2].
Dalam bukunya "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen pada masa Orde Baru, menyangsikan bahwa ada petani yang memiliki nama Marhaen, dan memberikan alternatif sumber lain dari nama tersebut, yaitu singkatan dari Marx-Hegel-Engels.[3][4]. Di kemudian hari, Soekarno juga menyebutkan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kultur dan natur Indonesia.

Ideologi

Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa versi Bung Karno.
Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.
Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah kongkret betul.
Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumber daya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.
Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland yaitu hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McCleland lebih menekankan opsi pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional, maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.[2]
Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Sukarno tegas menyatakan, bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism dari Uni Soviet. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai '"The Third Way.[2]

Referensi

  • Soekarno. 2000. Marhaenisme. Penerbit: Promedia.
  • Ign. Gatut Saksono. 2008. Marhaenisme Bung Karno. Penerbit: Rumah Belajar Yabinkas.
  • Julius Pour. 2010. Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang
  • Soegiarso Soerojo. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai
  1. ^ Soekarno menurut pengakuannya saat memberikan kuliah tentang Shaping and Reshaping Indonesia di Bandung, 3 Juli 1957
  2. ^ a b c Marhaenisme Pancasila
  3. ^ Pour 2010, h. 457
  4. ^ Soerojo 1988

Senin, 05 Mei 2014

munculnya manusia


Sebagian besar para ilmuwan berpendapat bahwa manusia hidup sekitar 2 juta tahun yang lalu. Tetapi manusia barangkali berawal dari perkembangan leluhurnya yang hidup pertama kali 4 juta tahun yang lalu. Leluhur pra-manusia adalah mahkluk yang menyerupai manusia yang berjalan tegak dengan ukuran yang kecil.
Para ilmuwan yakin bahwa manusia dan kera besar, seperti simpanse, gorilla, orang utan berasal dari leluhur yang sama. Fosil-fosil makhluk kuno yang menyerupai manusia dan kera besar menunjukkan kesamaan, termasuk kesamaan ukuran otak.

Kisah evolusi manusia pun dimulai dengan adanya perubahan iklim. Kira-kira 15 juta tahun yang silam suatu jalur hutan tropik mulai mengering ketika jumlah curah hujan menurun. Jalur itu membentang dari pantai timur Afrika menembus Arabia dan India sampai Asia Tenggara. Hutan-hutan yang lebat itu menipis lalu menghilang di seluruh tempat kecuali di daerah paling basah yang berada di tepi-tepi sungai dan danau sehingga terbentanglah daerah luas sabana dan tanah hutan terbuka. Pada awal masa perubahan ekologi ini terjadi evolusi Ramapithecus, yakni mata rantai antara manusia dan primata yang lam-lain.

Para ilmuwan berpendapat bahwa hominid kuno mungkin masih memiliki rambut sebanyak rambut leluhurnya, tetapi badannya lebih kecil dan giginya sangat berbeda. Karena hidup di tanah yang tak berhutan lagi atau pada pinggiran hutan, Ramapithecus terpaksa mengganti makanan khas hutan yang biasanya, yakni dedaunan dan buah-buahan, dengan sayuran dan biji-bijian yang dicarinya di tanah. Mula-mula Ramapithecus hanya melewatkan waktu sebentar setiap harinya untuk makan di tanah; waktu selebihnya dihabiskan dengan berkeliaran, bermain-main, tidur dan mencari tempat berlindung di pepohonan yang sudah dikenalnya.

Sikap berdiri tegaknya paling banter tentu masih sempoyongan, walaupun tentunya sikap tersebut lebih mudah dipertahankan pada waktu makhluk itu berlari dengan jarak-jarak dekat, namun, karena Ramapithecus bertampang dan berperi laku mirip kera, banyak ahli antropologi sekarang yakin bahwa makhluk tersebut sudah membawa bibit-bibit Homo sapiens yang akan datang kemudian.
Para ahli antropologi tidak yakin bagaimana terjadinya evolusi dari Ramapithecus ke makhluk yang sangat mungkin merupakan keturunannya,yakni Australopithecus.
Kesenjangan dalam catatan fosil selama beberapa juta tahun memberikan peluang untuk berspekulasi mengenai periode tersebut.

Bukti yang ada hanya menunjukkan bahwa Ramapithecus mungkin telah hidup pada masa hanya delapan juta tahun yang lalu, sedangkan bukti bagi Australopithecus diketahui hanya dari masa lima juta tahun yang lalu.
Para ahli biologi evolusi dengan hati-hati berspekulasi bahwa kesenjangan yang lamanya tiga juta tahun itu ditempati oleh suatu leluhur yang tak dikenal dari Australopithecus.

Tetapi sekalipun para ahli antropologi tidak mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada Ramapithecus, mereka yakin bahwa Australopithecus adalah hominid yang sangat sukses. Walaupun sisa tinggalannya hanya terdapat di Afrika, namun orang telah dapat mengenai empat jenis, dan kini fosil-fosil tetap bermunculan begitu cepat sehingga kerap kali bagi ilmuwan sulitlah menempatkan semuanya dalam peta evolusi.
Leluhur manusia mulai berkembang secara terpisah dari leluhur kera besar sekitar 10 hingga 5 juta tahun yang lalu. Hal ini menandai permulaan perkembangan hominid. Para ahli antropologi berpendapat bahwa hominid pertama termasuk mahkluk yang menyeru pai manusia disebut Australopithecines. Australopithecines per tama muncul sekitar 4 juta tahun yang lalu di afrika.
Australopithecines keli hatan sangat berbeda dari manusia modern. Wajahnya lebih menye rupai simpanze, tetapi mereka dapat berdiri dan berjalan diatas ke dua kakinya. Gigi taringnya lebih kecil dan kurang tajam dibandingkan dengan gigi taring kera besar. Wajahnya lebar dan menonjol. Besar otaknya sekitar sepertiga ukuran manusia modern. Gerahamnya besar dan rata cocok untuk mengunyah makanan. Makanannya adalah buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan serangga.
Australopithecines termasuk dalam golongan Australopithecus. Spesies paling awal dari Australopithecus adalah Australopithecus anamensis yang muncul di Afrika sebelah timur sekitar 4 juta tahun yang lalu. Spesies ini kemudian berkembang sekitar 3,7 juta tahun yang lalu menjadi Australopithecus afarensis. Fosil yang ditemukan di Hadar Ethiopia memiliki tinggi 107 cm  dan berat sekitar 27 kg, berjenis kelamin wanita dan diberi nama “Lucy” ukuran otaknya sama besar dengan ukuran otak simpanze.
Sekitar 3 juta tahun yang lalu Australopithecus africanus meng gantikan Australopithecus afaren sis. Fosil mahkluk ini memiliki tengkorak yang lebih bulat dan otak yang sedikit lebih besar dibandingkan A. afarensis. Namun dalam hal yang lain tidak ada perbedaan.
Secara evolusioner Australopi thecus africanus berkembang menjadi dua spesies, A. boisei dan A. robustus. Keduanya dikenal sebagai australopithe -cines  yang tegap. Mereka memilili geraham yang lebih besar dan rahang yang sangat kuat dibandingkan dengan ketiga spesies Australopithecus.
Ketiga spesies yang lebih awal disebut australopithecines ramping. Australopithecines tegap muncul sekitar 1,5 hingga 1 juta tahun yang lalu. Spesies australopithecus sangat dekat hubungannya dengan hominid yang lebih awal Ardipithecus ramidus, yang hidup di Ethiopia sekitar 4,4 juta tahun yang lalu. Manusia awal adalah perkembangan dari australopithecine tegap sekitar 2 juta tahun yang lalu. Homo habilis adalah spesies manusia yang paling tua.
Homo habilis memiliki otak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan australopithecine, tetapi hanya setengah ukuran otak manusia modern. Gerahamnya lebih kecil dan wajahnya tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan australopithecine. Makanan mereka buah, serangga, tanaman lainnya dan daging sebagai tambahan. Homo habilis jantan memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Homo habilis betina.
Lebih dari 1 ¾  juta tahun yang lalu Homo habilis berkembang menjadi species manusia yang lebih maju dan disebut Homo erectus. Spesies ini berdiri tegak dengan ketinggian 150 cm, memiliki tengkorak yang lebih tebal, dahi yang lebar dan rahang yang besar dan tak berdagu.  Tengkoraknya memiliki tonjolan alis, geraham yang lebih kecil, wajah yang lebih kecil, dan wajah yang tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan Homo habilis. Dalam perjalanan evolusinya Homo erectus, ukuran otak betul-betul berkembang hingga mencapai ukuran sedikit lebih kecil dari otak manusia modern.  Homo erectus jantan memiliki ukuran lebih besar dari Homo erectus betina.
Beberapa fosil Homo erectus yang paling awal ditemukan di Afrika, berumur lebih dari 1 ¾ juta tahun yang lalu. Beberapa anggota spesies bermigrasi dari Afrika ke Asia dan Eropa. Homo Erectus sampai di pulau Jawa 1 juta tahun yang lalu, barangkali lebih dari 1 ¾ juta tahun yang lalu. Sekitar 600 ribu tahun yang lalu spesies ini telah menyebar ke Asia Utara. Homo Erectus sampai di Eropa sekitar 700 tahun yang lalu.
Homo erectus barangkali adalah manusia pertama yang menguasai penggunaan api. Orang-orang ini juga telah menggunakan pakaian. Dengan berpindah ke utara dan berjumpa dengan dinginnya musim dingin mereka membutuhkan api dan pakaian. Homo erectus lebih trampil menggunakan alat dibandingkan dengan Homo habilis. Mereka menciptakan kapak tangan dari batu. Fosil sisa-sisa binatang banyak ditemukan di lokasi penemuan fosil Homo erectus. Para ilmuwan belum yakin apakah binatang ini mati dibunuh predator atau diburu manusia. Makanan utama Homo erectus adalah buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, serangga, dan binatang kecil.
Sekitar 400 ribu hingga 300 ribu tahun yang lalu Homo erectus berkembang menjadi spesies baru manusia yang disebut Homo sapiens. Karena proses evolusi itu berjalan secara bertahap, para ilmuwan sulit menentukan secara tepat kapan Homo Sapiens pertama kali muncul.
Kata Homo sapiens berarti manusia yang bijaksana. Semua manusia yang hidup saat ini termasuk dalam spesies Homo sapiens. Tetapi Homo sapiens yang paling awal jauh berbeda dari manusia modern.
Homo sapiens pertama sangat mirip dengan Homo erectus. Perbedaan utama diantara mereka adalah dimilikinya tengkorak yang lebih tinggi dan lebih bulat. Namun seperti halnya Homo erectus, Homo sapiens pertama memiliki wajah yang lebar yang menonjol disekitar mulut dan hidung, mereka juga memiliki tulang alis yang besar dan rendah, juga dahi yang menonjol. Orang ini tidak memiliki dagu, satu hal yang hanya dimiliki manusia modern.
Ukuran otak Homo sapiens awal bervariasi secara luas, ada yang seperti Homo erectus akhir, dan ada yang mendekati ukuran manusia modern. Homo sapiens awal kira-kira memiliki tinggi yang sama dengan manusia modern. Perbedaan ukuran antara jantan dan betina yang sangat menonjol seperti pada hominid awal mulai berkurang pada Homo sapiens.
Manusia Neanderthal adalah satu tipe awal Homo sapiens yang hidup di Eropa dan Timur tengah mulai 130 ribu hingga 35 ribu tahun yang lalu. Tipe-tipe yang berbeda dari Homo sapiens awal tinggal di bagian Afrika, Eropa dan Asia selama periode ini.
Manusia Neanderthal memiliki badan yang besar dan berotot. Mereka memiliki wajah yang menonjol, tulang alis yang besar dan dahi yang rendah. Sebagian besar tidak memiliki dagu, tetapi memiliki otak yang besar, rata-rata ukuran otaknya lebih besar dari manusia modern.
Mereka lebih pintar berburu dan membuat alat dibandingkan dengan manusia awal prasejarah. Mereka kadang berburu kuda, rusa kutub, dan mamot, tetapi mereka lebih trampil menangkap kelinci dan binatang kecil lainnya.   Neanderthal membuat peralatan batu yang bervariasi, yang digunakan untuk memotong binatang, memasak, mengupas kulit binatang, dan mengukir kayu. Neanderthal adalah manusia pertama yang menguburkan mayat mereka.
Manusia modern pertama muncul sekitar 100 ribu tahun yang lalu di Timur tengah dan Afrika. Manusia ini memiliki dagu, dahi yang tinggi, dan wajah yang lebih kecil dan tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan wajah awal Homo sapiens. Manusia modern awal juga tidak memiliki tulang alis besar dan memiliki tengkorak yang lebih tinggi dan lebih bulat. Para ilmuwan mengklasifikasikan manusia modern sebagai Homo sapiens sapiens, yakni sub spesies dari Homo sapiens. Para ahli Antropologi yakin bahwa manusia modern pertama adalah perkembangan dari tipe awal Homo sapiens.
Perbedaan Ras manusia berhubungan erat dengan asal-usul manusia. Fisik manusia modern berubah secara bertahap dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga sulit untuk menggambarkan garis pemisah diantara mereka. Kelompok manusia yang telah tinggal selama ribuan tahun di suatu tempat di bagian bumi ini, cenderung akan berbeda penampilannya dibandingkan dengan kelompok manusia lainnya yang tinggal di bagian lain bumi.
Perbedaan ini barangkali karena adanya penyesuaian dengan lingkungan setempat. Sebagai contoh manusia yang leluhurnya dari beberapa generasi tinggal di iklim panas, cenderung akan memiliki kulit yang gelap. Pigmen gelap membantu melindungi kulit dari terbakar matahari dan mengurangi resiko kangker kulit. Australia adalah negara dengan penderita kanker kulit terbanyak, karena memang penduduk kulit putih australia bukan asli orang australia.
Sejumlah besar komunitas jenis manusia purba pernah hidup di jawa; nama-nama seperti Anthro-popithecus erectus, Meganthropus palaeojavanicus, Pithecanthropus duboisii, Hemanthropus, Javan thropus soloensis, Sinanthropus, Hylobates giganteus, Homo modjo kertensis, Homo dubius, Homo trinilis. Homo primigenius, dan Homo erectus sering disebut. Mereka sebenarnya merupakan fosil satu jenis Homo erectus yang bervariasi, yang sisa-sisa kerangkanya juga ditemukan di Afrika dan Asia.
Beberapa analisis yang baru-baru ini ini dilakukan menunjukkan bahwa batu apung vulkanik yang terdapat di sekeliling fosil benar-benar berumur sekitar dua juta tahun. Jika hal ini mencerminkan umur fosil secara akurat, maka fosil
yang ditemukan di jawa hanya lebih muda sedikit daripada fosil H. erectus tertua yang ditemukan di Afrika.
Jawa merupakan tempat di bagian paling timur yang diketahui pernah didiami oleh manusia primitif ini, dan jika mereka pergi lebih jauh lagi berarti mereka melakukan perjalanan melintasi laut. Mereka dapat bertahan hidup, bahkan berkembang cepat dan tidak berubah selama beberapa ratus ribu tahun. Perpindahan ke jawa bertepatan dengan periode yang relatif dingin ketika permukaan air laut lebih rendah dari sekarang, sehingga memudahkan migrasi antar pulau bagi manusia, binatang dan tumbuhan.
Riset genetis mengenai kombinasi dan variasi DNA dalam nukleus dan mitokondria manusia hidup yang baru-baru ini dilakukan, menunjuk kan bahwa manusia moderen mung kin benar berasal dari Afrika, sekitar 200 ribu tahun yang lalu.
Namun suatu penolakan penting terhadap teori ini menyatakan bahwa dibandingkan populasi H. erectus yang menetap, hampir tidak mungkin populasi H. sapiens yang membentuk koloni memiliki strategi hidup yang jauh lebih baik dari pada manusia asli H. erectus sehingga menggantikannya.
Menarik untuk berikutnya tiba, yaitu manusia proto-Melayu yang hidup membudidayakan lahan. Keturunan mereka dapat ditemukan di antara penghuni Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, suku Tengger di jawa Timur, suku Dayak di Kaliman tan dan suku Sasak di Lombok.
Akhirnya, manusia Austronesia atau deutero-Malayu yang berasal dari Taiwan dan Cina bagian selatan datang melalui laut ke Malaysia, Filipina dan Indonesia. Mereka kemungkinan tiba di jawa antara 1.000-3.000 tahun yang lalu.
Keturunan mereka sekarang mendo minasi daerah-daerah Indonesia bagian barat; mereka pandai dalam bertanam padi dihuma dan sawah, irigasi, pembuatan keramik, serta ketrampilan yang tinggi untuk membuat peralatan dari batu .
Salah satu situs terkenal yang meru pakan peninggalan manusia ini ditemukan di sekitar desa Tugu di sebelah utara Bandung. Kelompok manusia ini tidak berhenti di Indonesia, dengan perahu mereka terus berlayar dan mendiami atau mengkoloni pulau-pulau sampai Selandia Baru, P. Easter, Hawai dan Madagaskar.
Dengan dimulainya pemukiman menetap, sekitar 2.500 tahun yang lalu, maka kehidupan spiritual mulai berkembang. Kepercayaan ini mungkin didasarkan pada penyembahan atas nenek-moyang mereka, dan struktur batu mega litik yang berkaitan dengan pemakamanjuga ditemukan di berbagai tempat seperti Wonosari dan Pakuaman di jawa, serta Marga tengah dan Gilimanuk di Bali .
Upacara adat pemakaman semakin meluas pada jaman logam tertua sekitar 2.000 tahun yang lalu. Suatu kawasan pemakaman jaman perunggu ditemukan di sekitar Kuningan, Jawa Barat. Benda terindah dan paling khas yang dibuat pada jaman perunggu adalah "genderang kuningan" yang diberi hiasan indah sekali, beberapa di antaranya diimpor dari daratan Asia, tetapi benda lainnya yang disebut "moko", telah dibuat di jawa dan Bali bahkan sejak jaman dulu.
Benda-benda yang terbuat dari perunggu yang ditemukan di Gilimanuk diperkirakan berumur hampir 7.000 tahun. Berbagai benda keramik berhiasan juga ditemukan. Semua menunjukkan adanya organisasi serta stratifikasi sosial yang mantap, konsep-konsep keagamaan, serta kemampuan kerja yang baik.
Benda-benda lainnya sangat sulit ditafsirkan, terutama karena tidak adanya pengetahuan dasar mengenai benda tersebut. Salah satu contoh adalah adanya benteng sepanjang satu kilometer yang letaknya strategis karena dibangun di puncak gunung. Benteng ini dibuat dari tanah dan dilengkapi dengan parit-parit dan dinding. Di tempat benteng ini berdiri sekarang terdapat perkebunan Argasari, terletak antara Facet dan Santosa, Bandung Selatan.
Piramid megalitik berukuran besar tetapi telah ditumbuhi tanaman liar juga ditemukan di Cikakak, Pelabuhan Ratu. Selain itu juga terdapat banyak batu-batu kuburan kuno, sayangnya informasi tentang obyek-obyek ini sekarang hanya dapat ditemukan melalui cerita-cerita kepercayaan.
Flores, pulau di bagian timur Indonesia ini dihuni oleh manusia seperti 'hobbit', mahkluk rekaan dalam buku 'The Lord of The Ring' karangan JRR Tolkien itu, jutaan tahun lalu. Waktu ini lebih awal dari yang semula diperkirakan, 800 ribu tahun lalu.
Studi ilmiah menunjukkan, manusia 'hobbit' penghuni awal (hominins) Pulau Flores ini tiba satu juta tahun yang lalu. Hal ini ditunjukkan dari artefak yang ditemukan di suatu situs arkeologi baru, seperti dilansir dari Reuters, Kamis ini.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan majalah ilmiah Nature, para peneliti mengatakan temuan mereka menguatkan bahwa hominins ini berkembang menjadi manusia seperti hobbit atau disebut 'manusia Flores'. Manusia Flores seperti hobbit ini mempunyai tinggi sekitar satu meter dan memiliki ukuran tengkorak sebesar jeruk pamello.
Sisa-sisa kerangka manusia Flores berusia 18 ribu tahun yang ditemukan sekitar 5 tahun lalu oleh ilmuwan itu, dinyatakan menjadi spesies yang sama sekali baru dalam dunia sains. Kerangka manusia Flores itu kemudian dinamakan Homo floriensis.
Kedatangan mereka juga dipercaya mengakibatkan kematian massal untuk kura-kura raksasa dan Stegondon sondaari, gajah kecil yang hidup di pulau itu. Dalam riset mereka, para ilmuwan juga mengatakan menemukan 45 alat-alat dari batu di Wolo Sege, di cekungan Soa, Flores.
Dipimpin oleh Adam Brumm dari Pusat Ilmu Arkeologi di Universitas Wollongong, New South Wales, Australia, para peneliti menggunakan data baru, metode dan menemukan bahwa peralatan batu digunakan sekitar satu juta tahun.
"Sudah jelas sekarang, bukti dari Wolo Sege, bahwa hominins Flores ada sekitar satu juta tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa non-selektif, kematian massal Stegondon sondaari dan kura-kura raksasa dapat mewakili kepunahan lokal atau regional," tulis mereka dalam makalah penelitiannya.
Manusia Flores diperkirakan sebagai keturunan Homo erectus, yang memiliki otak besar, berukuran penuh dan menyebar dari Afrika ke Asia sekitar dua juta tahun lalu.
Para ilmuwan menduga kalau Manusia Flores hidup pada waktu yang sama dengan manusia modern dan menjadi punah setelah letusan gunung berapi yang besar di pulau, sekitar 12 ribu tahun lalu.

www.merbabu.com/fauna/munculnya_manusia.php
- World Book Multimedia Encyclo pedia penerbit IBM
- Een Zee Van Tijd terbitan Zwijsen.
- De Voorhistorische Mens.
- Man in the Primitive World terbit an McGrawHill
- Ekologi Jawa dan Bali terbitan Pre nhallindo.
- Evolusi terbitan Tira Pustaka
- Mamalia terbitan Tira Pustaka.
- Mengenal Hewan Primata terbitan Rosda.
- Panduan Lapangan Primata Indo nesia terbitan Yayasan Obor.

Jumat, 02 Mei 2014

Sundaland = Benua Atlantis yang Hilang?

Pikiran Rakyat
Sabtu, 7 Oktober 2006
oleh Budi Brahmantyo
MENARIK sekali artikel yang ditulis oleh Profesor Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D., di harian ini Senin, 2 Oktober 2006 tentang mitos Benua Atlantis yang ternyata adalah Indonesia. Tulisannya mengutip sebuah buku keluaran tahun 2005 karya seorang Brasil Profesor Arysio Nunes dos Santos berjudul “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization”.
Terus terang, saya sama sekali belum pernah membaca buku itu. Tetapi, penelusuran melalui dunia maya menemukan satu promosi penerbitan buku tersebut dengan gambar sampul buku yang sangat menarik dan provokatif. Sampul buku itu menampilkan Kepulauan Indonesia bagian barat, yang tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang pernah dikenal sebagai Kepulauan Sunda Besar, terdiri dari Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan yang dipersatukan oleh paparan luas yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Jadi Paparan Sunda, atau ketika laut surut pada Kala Pleistosen Akhir menjadi daratan luas disebut dalam dunia ilmiah Geologi internasional sebagai Sundaland, adalah Benua Atlantis yang hilang menurut Profesor Santos? Sungguh membanggakan! Wajar jika kesimpulan Profesor Priyatna diakhir tulisannya bahwa Indonesia yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, harus membuat kita bersyukur, tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia (”PR”, 2 Oktober 2006).
Namun banyak ganjalan yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor Santos yang melambungkan nama Indonesia, atau tepatnya Sundaland, sebagai Benua Atlantis yang hilang itu. Ganjalan-ganjalan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya membawa kepada beberapa situs internet tentang Atlantis. Lalu, mouse komputer saya terdampar pada sumber awal munculnya mitos Atlantis itu, yaitu dialog Timaeus dan Critias, yang ditulis oleh Plato.
Cerita Critias
Mitos Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga muridnya; Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan kepada Socartes di hadapan Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah negeri dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias mengaku ceritanya adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut Critias sendiri yang juga bernama Critias.
Critias, si kakek buyut, mengetahui tentang Atlantis dari seorang Yunani bernama Solon. Solon sendiri dikuliahi tentang Atlantis oleh seorang pendeta Mesir, ketika ia mengunjungi Kota Sais di delta Sungai Nil. Bayangkan cerita lisan turun temurun yang mungkin banyak terjadi distorsi ketika Critias, si cicit, menceritakan kembali kepada Socrates, sebelum ditulis oleh Plato.
Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog Socrates, Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah sumber tertulis yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah tergambar suatu negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama Atlantis. Letak negeri berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar Hercules (the Pillars of Heracles).
Negeri itu lebih besar dari gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan ke pulau-pulau lain di mana dari tempat ini akan ditemui sisi lain negeri yang dikelilingi oleh lautan sejati. Laut ini yang berada pada Selat Heracles hanyalah satu-satunya pelabuhan dengan gerbang sempit. Tetapi laut yang lain adalah samudera luas di mana benua yang mengelilinginya adalah benua tanpa batas.
Di Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang menguasai seluruh pulau dan daerah sekitarnya, termasuk Libia, kolom-kolom Heracles, sampai sejauh Mesir, dan di Eropa sampai sejauh Tyrrhenia. Lalu terjadilah gempa bumi dan banjir yang melanda negeri itu. Dalam hanya satu hari satu malam, seluruh penghuninya ditenggelamkan ke dalam bumi, dan Atlantis menghilang ditelan laut.
Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis itu, bila kita cermati memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah (Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia, disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak lain adalah Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat di Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera Atlantik. Apakah betul Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari gabungan Libia dan Asia? Pendapat ini ditentang juga sebagai salah terjemah kata Yunani meson (lebih besar) dengan kata mezon (di antara).
Sundaland
Memang betul, konotasi Atlantis tidak harus mengacu kepada Samudera Atlantik. Tetapi berdasarkan lingkungan kesejarahan dan geografis, para ahli akhirnya berkonsentrasi mencari Atlantis di sekitar Laut Tengah, antara Libia dan Turki yang dikenal sebagai Asia pada waktu itu. Sebelum Profesor Santos berargumen bahwa Atlantis adalah Sundaland, pendapat yang paling banyak diterima adalah bahwa negeri itu ada di tengah-tengah Samudera Atlantis sendiri, yaitu di Kepulauan Azores milik Portugal yang berada 1.500 km sebelah barat pantai Portugal. Tidak ada bukti arkeologis yang mengukuhkan pendapat ini.
Tempat yang paling meyakinkan sebagai Atlantis adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah. Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan dahsyat gunung api ini mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis memang menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zamannya.
Pendapat Profesor Santos bahwa Atlantis adalah Sundaland atau Indonesia mempunyai banyak kelemahan. Pertama, tidak terdeskripsi dari cerita Solon melalui Critias bahwa Atlantis berada wilayah tropis. Kedua, deskripsi geografis di sekitar benua mitos itu mengarah semua ke Mediterania. Saya tidak tahu, lokasi mana yang ditunjuk Profesor Santos dalam bukunya sebagai selat dengan pilar-pilar Hercules.
Tetapi ia (melalui tulisan Profesor Priyatna ”PR” 2 Oktober 2006), berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Ketiga, Profesor Santos mengarahkan bingkai waktu Atlantis pada zaman es kala waktu Pleistosen. Zaman es terakhir (Wurm) terjadi pada maksimum 18.000 tahun yang lalu. Saat itu, tutupan es di kutub-kutub Bumi meluas hingga lintang 60 derajat, dan air laut di khatulistiwa surut tajam. Di Kepulauan Indonesia, sebuah pendapat mengatakan bahwa air laut surut hingga minus 140 m dari muka air laut sekarang. Maka, perairan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 100 m, berubah menjadi daratan. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Sundaland.
Setelah 18.000 tahun yang lalu, permukaan laut mulai naik seiring dengan masuknya zaman antar-es. Muka air laut naik terus hingga sekitar 5 m di atas muka laut sekarang pada sekira 5.000 tahun yang lalu, sebelum turun kembali hingga pada posisinya sekarang. Artinya, penenggelaman Sundaland akan berjalan sangat pelan (evolutif), memakan waktu 13.000 tahun. Padahal menurut cerita Critias, Atlantis tenggelam hanya dalam satu hari satu malam!
Keempat, kebudayaan Indonesia pada Pleistosen Akhir, bahkan hingga awal Holosen (11.000 tahun yang lalu) masih budaya pengumpul hasil hutan dan berburu. Peralatannya adalah kayu, bambu dan batu, dengan rekayasa sangat sederhana. Mereka tinggal di gua-gua atau teras sungai dengan tempat bernaung dari ranting kayu dan dedaunan. Tidak ada pendapat satu pun yang menggolongkan budaya Paleolitik seperti itu sebagai budaya yang dianggap maju dan tinggi dalam pengertian yang sepadan ketika Plato menuliskan bukunya.
Sekali lagi, saya belum membaca buku Profesor Santos itu. Tetapi dari paparan tulisan Prof. Priyatna, dengan sedikitnya keempat argumen di atas, anggapan bahwa Indonesia (Sundaland) adalah Atlantis sulit untuk dapat diterima. Tentu saja walaupun tulisan ini membantah Indonesia sebagai Atlantis, kita harus tetap sangat bangga dengan Sundaland di Indonesia, karena dari ilmu-ilmu geologi, arkeologi, geografi, biogeografi, linguistik dan lain-lain, kawasan Sundaland diakui kepentingannya secara internasional. Dengan fakta-fakta ilmiah itu, seperti pendapat Profesor Priyatna Abdurrasyid, membuat kita harus bersyukur dan tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Indonesia dengan Sundaland-nya, sekalipun akan terbantah bukan Atlantis, adalah kekayaan intelektual yang tetap diakui secara internasional.***
Penulis, anggota KK Geologi Terapan FIKTM-ITB, dan anggota KRCB dan IAGI.
Silakan baca juga ttg 24 syarat Atlantis di blog ini atau di http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=257
dan bahasan bukunya Santos di http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=418
Gambar-gambar diunduh dari: www.bestlandscaping-and-gardening.com/images; cogitz.files.wordpress.com/2009/09/487px-town; watch.pair.com/atlantis-rings.jpg

Kamis, 01 Mei 2014

faikblogshare.com: Lingkungan Alam, Manusia, dan Budaya Prasejarah

faikblogshare.com: Lingkungan Alam, Manusia, dan Budaya Prasejarah: ' Continental drift ', Gambar Oleh: British Antarctic Survey Oleh : Tim Wacana Nusantara I. Bumi, Mulanya Menurut para ahli...

Zaman Sejarah Pembentukan Bumi



Permulaan terjadinya Bumi merupakan sebagian dari gumpalan gas dari Matahari. Gumpalan gas yang besar tersebut selalu dalam keadaan berputar. Dikarenakan sesuatu hal, terlepaslah sebagian gumpalan itu, walaupun seolaholah dicampakkan sangat jauh, tetapi gumpalan itu masih tetap berputar terus menerus mengelilingi gumpalan besar (Matahari) tersebut. Gumpalangumpalan yang terpisah dan masih tetap berputar tersebut setelah mengalami proses pendinginan akan menjadi padat. Itulah yang disebut palanet-planet yang jumlahnya delapan. Berturut-turut nama-nama planet yang masuk susunan Matahari, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.

Dari gumpalan yang terlepas tersebut (planet) terlepas pula sebagian dari planet, tetapi juga tetap berputar dan mengelilingi gumpalan yang ditinggalkan, itulah yang disebut Bulan atau Satelit.
Kejadian tersebut memakan waktu yang sangat lama. Jadi, Bumi yang seperti sekarang ini baru terjadi setelah berjuta-juta tahun yang lalu. Sesudah Bumi bertambah dingin, berubahlah gas tersebut menjadi cairan dan lamakelamaan bagian luarnya makin padat sehingga pada permukaan bumi dapat ditempati manusia, tumbuh-tumbuhan serta makhluk hidup lainnya. Lapisan kerak bumi paling luar memiliki ketebalan ± 1.200 km. Menurut ahli geologi, pada permukaan bumi ini terdapat berbagai oksida yang sebagian besar (± 60%) berupa oksida silikon (SiO2).

Sesudah Bumi terbentuk bersama-sama planet lainnya, bahan-bahan yang lebih berat menggumpal di dalam inti, sedangkan keraknya terdiri atas unsurunsur silikon dan magnesium. Lebih ke dalam lagi terdapat lapisan yang banyak mengandung unsur persenyawaan logam sulfida. Yang paling dalam adalah inti yang mengandung besi dan nikel. Tebal dari masing-masing bagian dapat diketahui dengan menyelidiki jalannya gelombang gempa karena gelombang dibiaskan oleh lapisan tadi sesuai dengan kecepatan gelombang pada lapisan tersebut.

Zaman sejarah pembentukan bumi dapat dibagi menjadi 4, yaitu Prakambrium, Paleozoikum, Mesozoikum, dan Kenozoikum.
1. Prakambrium
Zaman Prakambrium lebih tua dari zaman Kambrium, di mana lapisan-lapisannya terdapat di bawah lapisan-lapisan yang mengandung fosil. Jelasnya, lapisan batuan baru dikatakan pasti berumur Prakambrium jika tertutup lapisan yang berfosil Kambrium.
Penampakan batuan Prakambrium sangat jarang sekali dijumpai di permukaan bumi, hanya di beberapa daerah dan terbatas pada tempat tertentu. Diperkirakan batuan Prakambrium tampak di permukaan bumi karena batuan-batuan itu sejak terjadi tidak pernah tertutup oleh sedimen yang lebih muda dan sedimen-sedimen muda yang ada sudah habis terkikis oleh erosi. Umumnya daerah-daerah itu merupakan bagian pusat benua. Karena bentuknya agak melingkar dan permukaannya sedikit cembung maka inti-inti Prakambrium disebut perisai benua. Di sekitar bagian pusat yang berbentuk perisai itu, lapisan Prakambrium tertutup oleh lapisan-lapisan yang lebih muda, makin jauh dari bagian pusat akan semakin tebal. Lapisan Prakambrium terdiri atas batuan-batuan berhablur, baik yang berasal dari pembekuan magma cair, maupun dari peleburan dan penghambluran kembali sedimen-sedimen dan batu-batuan lainnya, yang disebabkan oleh perubahan kimiawi dan fisis pada sedimen-sedimen dan batuan beku.
Seringkali batu-batuan Prakambrium sangat sulit diselidiki untuk mengetahui proses manakah di antara ketiga proses tersebut yang sesungguhnya telah membentuk batuan tadi, dan diantaranya dapat ditemukan bentuk-bentuk peralihan. Oleh sebab itu, pelapisan seperti pada sedimen-sedimen tidak banyak diketahui. Seandainya terdapat perlapisan maka seringkali hal ini disebabkan juga oleh perubahanperubahan fisis dan kimiawi tertentu pada tekanan yang tinggi. Hubungan dalam ruang dari batuan sangat rumit dan sulit untuk diuraikan.

Pada masa Prakambrium dapat diketahui pula bahwa di beberapa daerah terdapat iklim yang sangat dingin (endapan terbentuk oleh es darat atau gletser), sedangkan pada saat lain, iklimnya panas dan lembap (lapisan yang berwarna merah dengan rekah kerut), tetapi sangat sukar untuk menentukan iklim dari lapisan-lapisan sedimen yang ada. Pada waktu itu permukaan bumi yang ada di atas muka laut merupakan gurun, yang tidak disebabkan karena kekurangan air yang sangat besar (Sahara), tetapi karena pada waktu itu belum terdapat tumbuh-tumbuhan darat. Faktor lain adalah adanya oksigen bebas dalam atmosfer, yang jauh lebih sedikit daripada sekarang.

Sesudah diadakan penelitian dan penyelidikan yang saksama terhadap sisa-sisa batuan, diketahui bahwa pada masa Prakambrium tidak ditemukan bentuk-bentuk hidup dengan tekstur dan bentuk yang terang/jelas. Tekstur adalah istilah yang dipakai untuk bentuk-bentuk dan arah-arah di dalam batuan, misalnya tekstur butir. Struktur adalah istilah yang lebih banyak dipakai untuk bentuk-bentuk yang terbangunkan oleh kumpulan batuan kubah. Di samping itu juga didapati jejak rayapan cacing atau binatang serupa itu. Dalam masa Prakambrium tidak ada jasad-jasad yang dapat membuat rangka yang keras sehingga pemfosilan tidak mungkin terjadi.

2. Paleozoikum
a. Kambrium
Endapan yang terbentuk pada masa Kambrium banyak ditemukan fosil sehingga banyaklah yang dapat diketahui tentang keadaan kehidupan masa itu. Masa ini ditandai oleh adanya endapan-endapan yang mengandung jasad-jasad fosil yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi, bila dibandingkan dengan yang dijumpai pada masa Prakambrium. Semua masih hidup terbatas pada air. Oleh karena itu, sisa-sisa peninggalannya hanya berupa jasad-jasad air, terutama jasad-jasad samudera. Contohnya archaecyata dan binatang Trilobit Olenellus.
1) Archaecyatha
Peranannya seperti binatang karang. Jenis ini banyak membentuk endapan-endapan gamping yang tebal. Pembentukannya seperti yang dibuat oleh binatang karang sekarang ini di laut-laut daerah tropika. Gamping yang mengandung Archaecyatha telah banyak ditemukan di California, Siberia, Spanyol, Australia, dan lain-lain.
2) Binatang
Yang menjadi fosil penunjuk yang terpenting yang pada zaman Kambrium adalah Trilobita, yaitu sebangsa jenis udang-udangan yang berkulit keras.
Batuan pada masa Kambrium bercirikan endapan gamping yang mengandung banyak pirit, sedimen pasir, dan berlempung yang kaya akan fosil. Pada masa ini tidak terdapat batas iklim yang nyata, jasad yang membentuk gamping memerlukan air yang hangat. Jadi, pada saat itu iklimnya sedang, bahkan panas. Masa Kambrium ditaksir lamanya 70 juta tahun. Anggapan yang menyebabkan binatang-binatang yang dapat memfosil semakin banyak dan ditemukan sebagian besar di daerah tertentu, misalnya Kanada Barat sebagai berikut.
a) Pada masa Kambrium, batu-batuan terkena pengaruh metamorfosa lebih kecil sehingga lapisan-lapisan batu-batuan yang telah diendapkan dalam zaman geologi yang lebih muda. Contohnya lempung lemigrad untuk pembuatan barang-barang pecah-belah.
b) Setelah Prakambrium, beberapa kelompok binatang lebih banyak mempunyai kerangka maka kemungkinan untuk memfosil lebih besar.
Dengan menggunakan fosil maka dapat diketahui 3 macam zaman Kambrium, yaitu fauna Kambrium bawah, fauna Kambrium tengah, dan fauna Kambrium atas.
a) Fauna kambrium bawah
Masih bersifat kosmopolit, yaitu binatang-binatang masih terdapat di mana-mana di dunia (Trilobit Olenellus).
b) Fauna kambrium tengah
Sudah terbagi menjadi daerah-daerah fauna pasifik dan Atlantik. Daerah Atlantik sebagai fosil binatang Paradoxides (Pasifik Olenoides).
c) Fauna kambrium atas
Daerah fauna Pasifik bercirikan Diclocephalus dan terus menembus Eropa-Tiongkok-Tibet sampai Spanyol. Daerah fauna Atlantik bercirikan Olenus.


b. Silur
Pada zaman Silur, penyebaran fauna lebih luas dibandingkan dengan masa Kambrium. Banyak kelompok binatang baru muncul pada zaman Silur ini. Di antaranya yang terpenting adalah Vertebrata atau binatang bertulang punggung. Graptalit adalah ciri fosil penujuk pada masa Silur dan merupakan kumpulan/kalori binatang kecil yang disebut Rabdosoma.
Sedimen pasir gamping, kebanyakan diendapkan pada tempattempat daerah yang terangkat di dekatnya. Banyak binatang karang berkembang biak dengan baik sehingga jasad-jasadnya meninggalkan lapisan batu gamping yang tebal.
Sedimen dengan ciri fasies Graptalit terbentuknya di lautan yang dalam, tetapi kini ternyata kebanyakan di antara lempung-lempung itu diendapkan di lautan yang dangkal, yang kadang-kadang tertutup oleh ganggang laut. Hal ini menyebabkan laut berwarna hitam (Laut Hitam). Di Indonesia zaman Silur adalah zaman yang tertua yang diketahui. Fosil Silur berupa koral bulat yang bernama Halisites, telah banyak ditemukan orang dalam batu-batu lepas dalam suatu sungai di Papua.Air hujan di Niagara terjadi pada endapan-endapan Silur. Iklim pada zaman Silur di mana-mana mengalami panas yang hampir sama dengan masa Kambrium. Adanya sisa evaporit-evaporit menunjukkan adanya iklim yang kering dan mungkin ada suasana gurun.

c. Devon
Zaman ini bercirikan munculnya tumbuh-tumbuhan darat dan binatang bertulang punggung. Di laut dijumpai perkembangan luas kelompok-kelompok binatang yang tidak bertulang punggung, seperti Amronit. Pada dasarnya Devon terbagi atas 3 macam, yaitu Devon bawah, Devon tengah, dan Devon atas.
Pada umumnya daerah Old Red Sandstone (ORS) terdiri atas Arkosa Konglomerat, batu pasir, yang kesemuanya berasal dari perombakan pegunungan Kaledonia. Daerah ORS ini meliputi daerah sekitar pegunungan Kaledonia, Inggris, Skotlandia, Skandinavia, Spitsbergen, Grondalia, hingga jauh melampaui dataran tinggi Rusia. Khusus di Grondalia, ORS berselang-seling dengan endapan-endapan laut dangkal. Demikian pula di Tiongkok terdapat endapan ORS, terutama di Kuangli (karena ada hubungan lautan pada saat benua Eropa dan Asia masih bersatu).
Pada zaman Devon banyak ditemukan lapisan-lapisan endapan daratan yang sungguh luas. Banyak di antaranya diendapkan dalam sungai atau dalam danau. Dalam lapisan banyak ditemukan fosil-fosil ikan, demikian pula perkembangan tumbuhan daratan baru berarti setelah zaman Devon.
Pada zaman Devon keadaan iklim sangat panas, dan di daerah tropika banyak hujan disertai tumbuhan berkembang, mengakibatkan terjadinya tanah merah yang bersifat laten. Di samping itu dengan adanya sungai-sungai dan danau-danau, menunjukkan iklim yang agak lembab. Di beberapa tempat ditemukan bekas-bekas yang menunjukkan adanya gletser-gletser besar. Bekas-bekas ini ditemukan di Afrika Selatan, Grondalia, dan Amerika.
Di Indonesia zaman Devon hanya dapat ditunjukkan di beberapa tempat saja, yaitu dengan adanya Heliolithes dan Tetracoralla. Clathrodyctyon daerah sungai Telen di Kalimantan adalah satu-satunya tempat di Indonesia yang telah terbukti mempunyai batuan-batuan Devon.

d. Karbon
Zaman ini ditandai dengan timbulnya sejumlah besar karbon bebas di pelbagai bagian dunia. Karbon atau Carbonium atau Arang ini amat berpengaruh pada keadaan cuaca/iklim. Pada zaman Karbon ini terjadi pembentukan pegunungan; hal-hal inilah yang menyebabkan zaman
Karbon dapat dikenal dengan nyata. Terjadinya batu bara sangat erat hubungannya dengan pengangkatan dan pembentukan pegunungan. Adanya karang menunjukkan iklim sedang yang agak panas; adanya sedimen Klasika yang berwarna merah dengan rekah kerut menandakan iklim kering/arid. Adanya tumbuh-tumbuhan dengan daun yang cukup rindang menunjukkan adanya pelembagaan. Tidak adanya lingkaran tahun pada batang-batang serta tumbuh terus, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang menyolok. Endapan batu bara yang berwarna merah menunjukkan peninggalan yang kering dan gersang.
Perkembangan naptelia, amfibia yang muncul pada zaman Devon mengalami perkembangan pesat, demikian pula perkembangan serangga, lebah, dan lipan. Serangga pada zaman ini ialah pemakan daging/bangkai. Pada tempat di mana karbon diendapkan sebagai lapisan dasar laut, di sana dijumpai karang/koral dalam jumlah yang besar. Perkembangan tumbuhan (paku/pakis, kawat/ sumbar batu) lebih nyata dibandingkan dengan binatang bertulang punggung.

e. Perm
Ciri-ciri perm ialah bahwa letak lapisan yang diskor dan di atas karbon mengandung batu bara, juga adanya penyimpangan fauna laut dari 2 karbon fosil pada zaman Paleozoikum akhir.
Di Indonesia peninggalan perm ditemukan di Timor pada lembah sungai Noil, besi di Miaffo Timor Barat Daya berupa lapisan lava-lava bantal (kegiatan vulkanik). Di Sumatera berupa gamping dan koral disertai dengan batuan dari gunung berapi. Lapisan perm mengandung minyak, koalium (bahan porselin), lempung keramik, besi, dan batu bara.
Pada umumnya dalam sejarah bumi ditemukan kaidah-kaidah sebagai berikut.
a. Bila perbedaan tinggi topografi tidak seberapa dan terdapat genangan laut yang luas maka akan terdapat iklim yang agak panas dan merata di bagian bumi yang luas.
b. Bila perbedaan tinggi topografi besar, yaitu selama sesudah ada orogenese atau pengangkatan pegunungan yang meluas di seluruh dunia, ada pembagian iklim dalam beberapa daerah, yaitu iklim kutub, sedang, kering, gersang, dan iklim hujan tropis.
Jadi, dari masa Paleozoikum dan Prakambrium dapat disimpulkan beberapa hal, yakni sebagai berikut.
a. Pada zaman Azoikum dapat dikatakan belum ada kehidupan sama sekali, barulah pada zaman Protonozoikum mulai ada kehidupan.
b. Pada zaman Paleozoikum mulai ada fosil-fosil baik berasal dari flora maupun fauna.
c. Pada zaman Paleozoikum dapat disebut mulai ada tingkat kehidupan.
Pada saat itu mulai timbul berbagai kehidupan seperti tumbuhan daratan pertama, trolobita, ikan, ubur-ubur, di mana tingkat kehidupan masih sangat sederhana.

3. Mesozoikum
Masa Mesozoikum terdiri atas zaman kapur, jura, dan trias. Zaman kapur berumur kurang lebih 90 juta tahun, jura 140 tahun, dan trias 190 tahun. Ketiga zaman ini disebut tingkat kehidupan pertengahan. Keadaan iklim pada waktu itu adalah panas dan basah. Hal ini dapat diketahui dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan flora dan fauna yang ada pada saat itu. Pada zaman ini mulai timbul dan berkembang tumbuh-tumbuhan berdaun lebar, binatang melata, amfibi, dan ikan serta binatang menyusui pertama. Kehidupan flora dan fauna penyebarannya terbatas.

4. Kenozoikum/Neozoikum
Masa Kenozoikum disebut juga masa Neozoikum, terdiri atas zaman tersier dan kwartir dan merupakan tingkat kehidupan baru.
a. Zaman Tersier
Zaman tersier terbagi menjadi zaman eosen, oligosen, dan pleiosen. Zaman eosen berumur 70 juta, oligosen 42 juta tahun, miosen 30 juta tahun, dan pleiosen 16 juta tahun. Pada zaman tersier tumbuh-tumbuhan berkembang biak dan meluas ke seluruh wilayah kontinen, demikian juga mulai timbul dan berkembang tumbuh-tumbuhan berbunga. Binatang menyusui dan burung-burung mulai meluas pada zaman ini. Keadaan iklim tidak begitu berbeda dengan zaman sekunder. Pada zaman ini batu bara muda mulai terbentuk.
b. Zaman Kwartir Zaman kwartir terdiri atas zaman pleistosen atau dilluvium dan zaman holosen atau alluvium. Kedua zaman ini berumur kurang lebih 3 juta tahun yang lalu. Pada zaman kwartir telah muncul manusia pertama.