Judul Asli : Marx’s
Ecology: Materialism and Nature
Penulis: John Bellamy Foster
Penerjemah : Pius Ginting
Penerbit : Walhi
Harga buku: Rp 69.000 diskon
jadi Rp. 55.000
Pemesanan
: sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
Penjelasan mengenai hubungan manusia dengan alam dari
pendekatan Marxisme, boleh dibilang sebagai wilayah teoritis yang kurang
berkembang. Dalam tradisi Marxisme klasik, misalnya, kita hanya menemukan
beberapa karya ternama seperti Dialectics of Nature dan Anti Duhring
yang ditulis Friedrich Engels, yang berupaya menjelaskan fenomena alam dan
hubungannya dengan manusia. Namun selain dua karya tersebut, sulit untuk
menemukan penjelasan yang lebih elaboratif mengenai hubungan antara manusia
dengan alam.
Kenyataan ini tentu saja mengherankan, mengingat pertanyaan
mengenai alam adalah pertanyaan yang sangat krusial dalam konjungtur
perkembangan kapitalisme sekarang. Perubahan iklim, maraknya bencana alam,
hingga krisis lingkungan adalah sekelumit dari barisan permasalahan peradaban
kontemporer yang sangat lekat dengan problem hubungan antara manusia dengan
alam yang membutuhkan penjelasan marxis yang spesifik atasnya.
Dalam keterbatasan perkembangan teoritis, sekaligus praktis
seperti ini, karya John Bellamy Foster Marx’s Ecology, menjadi sangat
penting untuk diangkat ke permukaan. Bagi Foster, problem ini tidak harus
muncul jika kita melakukan pembacaan atas Karl Marx dengan sensitivitas
ekologis, dalam arti Marx sudah sedari awal menempatkan posisi manusia yang berelasi
dengan alam dalam analisa ekonomi politiknya. Oleh karena itu, karya ini dapat
dikatakan sebagai upaya Foster untuk mengeksplisitkan posisi ekologis Marx
dalam bangunan teori kritiknya terhadap kapitalisme sebagaimana yang kita
ketahui selama ini.
Ekologi Marx yang hendak ditunjukan oleh Foster dalam
bukunya ini, adalah satu posisi yang sepenuhnya spesifik. Ekologi Marx bukanlah
ekologi yang bersandar pada konsepsi antroposentrisme ‘Baconian’[1] yang lebih menekankan pada dominasi
serta penguasaan alam atas nama pembangunan ekonomi, atau konsepsi ekosentrisme
romantisme yang menempatkan alam sebagai sesuatu yang baik dengan sendirinya.
Bagi Foster, Marx sebenarnya lebih menekankan pada interaksi fundamental antara
manusia dan lingkungannya, dimana interaksi ini adalah inter-relasi yang selalu
berubah. Dalam hal ini, distingsi antara antroposentrisme vis a vis
ekosentrisme bukanlah masalah yang tepat. Namun, permasalahan yang diajukan
adalah perubahan bersama (coevolution) antara manusia dengan alam itu
sendiri (hal. 11). Dalam problem inilah, materialisme yang dikembangkan Marx
telah berkontribusi bagi ekologi, serta kesadaran ekologi tidak dapat
dipisahkan dari materialisme itu sendiri.
Dalam pengalaman Indonesia, problem ekologis adalah salah
satu isu yang penting untuk dijawab oleh gerakan Kiri Indonesia sekarang. Di
tengah pengerukan massif kekayaan alam atas nama pertumbuhan ekonomi,
mengajukan orientasi politik ekologis dalam materialisme dialektika historis
adalah upaya yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini menjadi sangat
krusial di tengah membludaknya ilusi-ilusi ekologi yang diartikulasikan oleh
ideologi kapitalisme, seperti, misalnya, ‘ekonomi hijau.’ ‘kebijakan hijau,’
atau bahkan ‘gaya hidup hijau’ yang pada dasarnya tidak lebih sebagai upaya
menetralisir dimensi radikal dari problem ekologi sekarang yang berpotensi
untuk membuka orientasi politik baru di luar kapitalisme.
Darwinisme
dialektis Marx
Konsepsi Marx tentang alam sangat dipengaruhi teori evolusi
yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Darwin, alam beserta
mahluk hidup di dalamnya dipahami sebagai sesuatu yang selalu berevolusi,
selalu berubah. Evolusi ini sendiri adalah proses sejarah alam yang terbuka
yang dipandu oleh kontingensi, yang dimungkinkan untuk dijelaskan secara
rasional (hal. 16). Penjelasan ini sendiri bukan sesuatu yang baru bagi Marx,
karena ia sendiri menganut pandangan tentang materialisme yang berangkat dari
proposisi bahwa materi selalu bergerak dan berubah. Ide ini sendiri dapat
ditelusuri asal-usulnya dari filsuf Yunani kuno Epikurus, dimana Marx
menjadikan Epikurus sebagai subyek studi disertasi doktoralnya yang berjudul Perbedaan
antara Filsafat Alam Demokritean dan Epikurian. Kontribusi lain yang tidak
kalah penting dari Darwin bagi konsepsi alam Marx adalah dimungkinkannya
memahami pergerakan serta perubahan ini tanpa adanya telos (tujuan).
Posisi anti telos dari teori Darwin memberikan terang bahwa dalam
perkembangannya, alam tidak memiliki maksud serta tujuan apapun yang membuatnya
harus bergerak dalam determinisme tujuan tersebut. Sebelum Darwin, kuat
anggapan bahwa terdapat ’intervensi surgawi’ yang mengutak-atik perkembangan
alam itu sendiri, yang pada akhirnya membuat alam harus mengikuti keinginannya.
Di tangan Darwin, pendapat lama ini berhasil dimentahkan, bahwa penyebab
terjadinya perubahan bukan karena adanya ‘intervensi surgawi,’ melainkan alam
berubah karena adanya dinamika internal yang secara inheren melekat pada alam
itu sendiri. Dinamika itu muncul karena upaya adaptasi mahluk hidup dengan
situasi alaminya dalam rangka mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini ada
kesalingterhubungan yang erat antara makhluk hidup dengan alam itu sendiri.
Implikasi dari teori Darwin bagi materialisme Marx sangat
krusial. Menurut Foster, dengan mengutip Rachel Carson,2 kesalingterhubungan antara makhluk hidup dan
alam tidak terjadi dalam suatu kompartemen yang terisolir, akan tetapi terjadi
dalam ‘kesatuan yang luar biasa antara organisme dengan lingkungannya’ (hal.
16). Dalam pemahaman ini maka prinsip dialektika menjadi tak terelakkan.
Diperlukan aparatus pengetahuan yang lebih kuat untuk dapat menjelaskan pertanyaan
ini. Dialektika Hegel yang menempatkan totalitas serta kontradiksi memberikan
Marx cara pandang yang kreatif untuk memahami evolusi Darwin. Melalui
totalitas, evolusi dilihat sebagai proses menyeluruh dimana alam
mengikutsertakan manusia sekaligus manusia menjadi bagian dari alam. Dengan
kontradiksi, maka relasi antara alam dan manusia tidak dapat dipahami satu arah
semata dimana manusia sepenuhnya tunduk kepada alam, namun manusia memiliki
kapasitas yang sama untuk mempengaruhi alam.
Selain itu, pemahaman ini memberikan pendasaran ontologis
bagi penjelasan materialisme historis itu sendiri. Materialisme historis tidak
dapat lagi mendasarkan penjelasan teoritis pada sebatas problem relasi sosial
produksi semata, akan tetapi harus memberikan perhatian yang cukup pada problem
ekologis yang melingkupi relasi sosial produksi tersebut karena ekologi juga
mempengaruhi dinamika relasi sosial produksi. Dalam hal ini, Foster memberikan
satu contoh sederhana mengenai bagaimana relasi resiprokal ini terjadi. Ia menulis,
’tanah mengalami perubahan evolusi yang lama sebagai akibat langsung dari
aktivitas tanaman yang tumbuh di atasnya, dan perubahan ini pada gilirannya
memberikan pengaruh balik pada kondisi eksistensi organisme.’
Ekologi melalui metabolisme manusia dan alam
Kunci dari penjelasan ekologi Marx terletak pada
elaborasi atas ide mengenai hubungan antara alam dengan manusia. Bagi Marx,
relasi ini berproses layaknya metabolisme dimana kerja manusia menjadi mediasi
utamanya. Dalam bukunya, Capital, melalui kerja, manusia berupaya untuk
mengelola metabolisme antara dirinya dan alam. Akan tetapi dikarenakan relasi
produksi serta pemisahan desa-kota yang antagonistik, proses metabolistik ini
menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘keretakan yang tidak dapat diperbaiki’
(hal. 141). Dalam kerangka ‘keretakan metabolisme’ atas alam dan manusia inilah
posisi ekologi Marx dibangun.
Penjelasan Marx mengenai ‘keretakan metabolisme’
ini dimulai dengan kritiknya terhadap teori populasi-lebihnya (overpopulation)
Thomas Malthus. Teori Malthus, bagi Marx, sangat problematik dari dua sisi.
Sisi pertama, teori itu tidak lebih sebagai ekspresi brutal dari
kepentingan modal. Namun lebih dari pada itu, Mathus menganggap masalah
populasi-lebih terjadi di semua epos masyarakat. Walau Marx mengakui keberadaan
fenomena populasi-lebih dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya, akan tetapi
Marx mempertanyakan penolakan Malthus untuk melihat perbedaan spesifik yang ia
anggap ada dalam formasi sosial yang berbeda yang terjadi di tiap fase berbeda
perkembangan sejarah. Dalam hal ini, Marx menekankan pentingnya memperhatikan
perbedaan modus produksi sosial yang mendeterminasi perkembangan
masyarakat yang kemudian mengondisikan fenomena populasi-lebih (hal. 143).
Konsekuensi dari pentingnya melihat perkembangan
historis, membuat Marx harus melakukan pembongkaran atas rasio aritmatik yang
menjadi pembenaran bagi keterbatasan sumber daya alam untuk menopang
pertumbuhan jumlah populasi. Dalam hal ini, Marx kemudian mengarahkan
pertanyaannya pada problem sumber daya alam yang pada saat itu banyak
dielaborasi oleh tradisi ekonomi klasik melalui teori sewa tanah. Pada titik
ini, gagasan ekonom klasik seperti David Ricardo, masuk ke dalam diskusi
teoritis Marx tentang ekologi karena kontribusinya terhadap perkembangan teori
sewa tanah pada saat itu. Marx dan Ricardo sejalan ketika melihat
kesalahkaprahan Malthus, dimana bukan jumlah benih yang menyebabkan terjadinya
kelebihan populasi, akan tetapi tingkat pengangguran. Namun Marx mencatat poin
dimana, menurutnya, teori sewa tanah Ricardo sama dengan teori Malthus, karena
keduanya sama-sama tidak memberikan perhatian teoritis yang cukup pada dimensi
perkembangan historis.
Dari situ Marx kemudian mengalihkan pandangannya
pada penjelasan James Anderson mengenai teori sewa tanah, yang menurutnya lebih
superior dibandingkan Ricardo dan Malthus. Sewa, menurut Anderson, dikenakan
untuk penggunaan tanah yang lebih subur. Kurangnya kesuburan tanah pada saat
penanaman hanya cukup untuk menutupi biaya produksi, sementara tanah yang lebih
subur menciptakan sewa tanah yang lebih besar. Perbedaan mendasar Anderson
dibanding ekonom klasik sebelumnya adalah ia berpendapat bahwa tingkat
kesuburan tanah ditentukan oleh perubahan historis seperti perkembangan
teknologi dan cara produksi. Anderson menambahkan, kegagalan untuk mendorong
peningkatan kesuburan tanah lebih banyak disebabkan oleh kegagalan untuk
mengadopsi praktik agrikultur yang rasional dan berkelanjutan (hal. 145).
Penjelasan Anderson ini memperkuat posisi Marx, sekaligus mengakhiri tendensi
ekonomi politik abad 18 dimana tanah masih dilihat sebagai hal yang terpisah
dari historisitas perkembangan masyarakat.
Namun, Marx mendapat petunjuk teoritis lebih
lanjut mengenai masalah ekologis dalam kapitalisme ketika ia mempelajari studi
Justus von Liebieg mengenai komposisi tanah. Menurut Liebieg, pengetahuan
agrikultur sebelum 1840an cenderung menekankan pada peranan ternak dan
‘kekuatan laten’ tanah semenjak properti kimia dalam tanah belum diketahui pada
saat itu, yang membuat kondisi nutrisi tanaman juga belum diketahui. Tidak
heran, pada saat itu, kekuatan laten yang terkandung dalam tanah selalu dilihat
sebagai sesuatu yang terbatas dan dalam waktu yang bersamaan tidak dapat
dirusak. Dalam hal ini, pengetahuan kimia yang dikembangkan oleh Liebieg
mampu untuk mengatasi keterbatasan yang ada pada saat itu. Kajian Liebieg
mendorong penggunaan intervensi manusia yang lebih besar (melalui teknik kimia,
tentu saja) pada tanah, sekaligus membuka kemungkinan yang luas untuk
terjadinya revolusi pertanian.
Implikasi dari kajian Liebieg tentang penggunaan
kimia pada tanah adalah terbukanya potensi yang luas bagi terjadinya degradasi
tanah. Konsep ‘keretakan metabolisme’ yang diajukan Marx menjadi relevan di sini,
karena kapitalisme dalam rangka menciptakan maksimalisasi keuntungan akan
menggunakan teknik kimia sebesar-besarnya untuk mendorong tingkat kesuburan
yang diharapkan. Atas nama keuntungan, tanah harus dieksploitasi melalui
bahan-bahan kimia yang berimplikasi pada penurunan kualitas tanah itu sendiri.
Dalam hal ini, keretakan metabolisme dapat dipahami secara literal
sebagai intervensi berlebih manusia pada alam sehingga mengakibatkan hubungan
antara alam dengan manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi
metabolistik antara keduanya. Pada tahun 1852, Marx menulis, ‘tanah menjadi
komoditas yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar
pada hukum komersial yang berlaku…’ (hal. 156). Secara spesifik Marx memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antagonistik antara desa dengan kota,
dimana tanah-tanah subur di pedesaan ‘dirampok’ dalam rangka mendukung
industrialisasi.
Bagi Foster, konsep metabolisme adalah kunci bagi
penjelasan mengenai ekologi Marx. Metabolisme dipahami langsung sebagai elemen
dalam gagasan ‘pertukaran material’ yang mendasari proses terstruktur
pertumbuhan dan pembusukan secara biologis. Metabolisme digunakan sebagai
cara untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan alam melalui kerja. Dalam
gagasan yang lebih luas, yang secara khususnya dijelaskan dalam Grundrisse,
metabolisme yang dimaksud memiliki arti ekologis sekaligus sosial, dimana
metabolisme manusia dengan alam yang rumit, kompleks serta saling terhubung
dieskpresikan melalui organisasi konkrit kerja manusia dalam kaptialisme yang
secara terus-menerus teralienasi. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filsafat
tahun 1844, Marx menulis, ‘manusia hidup dalam alam atau alam adalah
tubuhnya, dan ia harus mempertahankan dialog dengan alam jika manusia tidak
ingin mati. Untuk mengatakan bahwa secara kehidupan fisik dan mental manusia
terhubungkan dengan alam sama seperti mengatakan alam terhubung dengan dirinya
sendiri, dimana manusia adalah bagian dari alam’ (hal. 158).
Akan tetapi penjelasan Marx ini tidak dapat
dipahami sebagai suatu ekspresi romantik Marx tentang alam dan juga ekologi.
Posisi Marx tentang metabolisme justru ekspresi atas gagasan alienasi terhadap
alam yang berhubungan erat dengan alienasi atas kerja. Menurut Tim Hayward yang
dikutip oleh Foster, gagasan metabolisme sosio-ekologis Marx menangkap aspek
fundamental keberadaan manusia sebagai makhluk alam sekaligus sosial, dimana
metabolisme diatur dari dari sisi alam melalui hukum alam yang melingkupi
berbagai proses fisik, dan dari sisi masyarakat melalui insititusionalisasi
norma yang mengatur pembagian kerja dan distribusi kekayaan (hal. 159).
Komponen yang esensial dari konsep metabolisme adalah adanya gagasan bahwa
relasi ini adalah dasar yang membuat jaring interaksi kehidupan yang kompleks
dapat berlanjut dan pertumbuhan menjadi mungkin. Dengan adanya ‘keretakan
metabolisme’ keseluruhan dasar itu menjadi terancam eksistensinya dan
selanjutnya kemudian mengancam kehidupan manusia secara lebih luas. Dari sini
ide tentang ketidakberlanjutan kapitalisme mengemuka, karena relasi
metabolistik manusia dan alam akan selalu berhadapan secara antagonistik akibat
kepentingan kapitalisme untuk memaksimalisasi keuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar