Jumat, 25 April 2014

EKOLOGI MARX



Judul : EKOLOGI MARX Materialisme dan Alam
Judul Asli : Marx’s Ecology: Materialism and Nature
Penulis: John Bellamy Foster
Penerjemah : Pius Ginting
Penerbit : Walhi
Harga buku: Rp 69.000 diskon jadi Rp. 55.000
Pemesanan : sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
Penjelasan mengenai hubungan manusia dengan alam dari pendekatan Marxisme, boleh dibilang sebagai wilayah teoritis yang kurang berkembang. Dalam tradisi Marxisme klasik, misalnya, kita hanya menemukan beberapa karya ternama seperti Dialectics of Nature dan Anti Duhring yang ditulis Friedrich Engels, yang berupaya menjelaskan fenomena alam dan hubungannya dengan manusia. Namun selain dua karya tersebut, sulit untuk menemukan penjelasan yang lebih elaboratif mengenai hubungan antara manusia dengan alam.
Kenyataan ini tentu saja mengherankan, mengingat pertanyaan mengenai alam adalah pertanyaan yang sangat krusial dalam konjungtur perkembangan kapitalisme sekarang. Perubahan iklim, maraknya bencana alam, hingga krisis lingkungan adalah sekelumit dari barisan permasalahan peradaban kontemporer yang sangat lekat dengan problem hubungan antara manusia dengan alam yang membutuhkan penjelasan marxis yang spesifik atasnya.

Dalam keterbatasan perkembangan teoritis, sekaligus praktis seperti ini, karya John Bellamy Foster Marx’s Ecology, menjadi sangat penting untuk diangkat ke permukaan. Bagi Foster, problem ini tidak harus muncul jika kita melakukan pembacaan atas Karl Marx dengan sensitivitas ekologis, dalam arti Marx sudah sedari awal menempatkan posisi manusia yang berelasi dengan alam dalam analisa ekonomi politiknya. Oleh karena itu, karya ini dapat dikatakan sebagai upaya Foster untuk mengeksplisitkan posisi ekologis Marx dalam bangunan teori kritiknya terhadap kapitalisme sebagaimana yang kita ketahui selama ini.
Ekologi Marx yang hendak ditunjukan oleh Foster dalam bukunya ini, adalah satu posisi yang sepenuhnya spesifik. Ekologi Marx bukanlah ekologi yang bersandar pada konsepsi antroposentrisme ‘Baconian’[1] yang lebih menekankan pada  dominasi serta penguasaan alam atas nama pembangunan ekonomi, atau konsepsi ekosentrisme romantisme yang menempatkan alam sebagai sesuatu yang baik dengan sendirinya. Bagi Foster, Marx sebenarnya lebih menekankan pada interaksi fundamental antara manusia dan lingkungannya, dimana interaksi ini adalah inter-relasi yang selalu berubah.  Dalam hal ini, distingsi antara antroposentrisme vis a vis ekosentrisme bukanlah masalah yang tepat. Namun, permasalahan yang diajukan adalah perubahan bersama (coevolution) antara manusia dengan alam itu sendiri (hal. 11). Dalam problem inilah, materialisme yang dikembangkan Marx telah berkontribusi bagi ekologi, serta kesadaran ekologi tidak dapat dipisahkan dari materialisme itu sendiri.
Dalam pengalaman Indonesia, problem ekologis adalah salah satu isu yang penting untuk dijawab oleh gerakan Kiri Indonesia sekarang. Di tengah pengerukan massif kekayaan alam atas nama pertumbuhan ekonomi, mengajukan orientasi politik ekologis dalam materialisme dialektika historis adalah upaya yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini menjadi sangat krusial di tengah membludaknya ilusi-ilusi ekologi yang diartikulasikan oleh ideologi kapitalisme, seperti, misalnya, ‘ekonomi hijau.’ ‘kebijakan hijau,’ atau bahkan ‘gaya hidup hijau’ yang pada dasarnya tidak lebih sebagai upaya menetralisir dimensi radikal dari problem ekologi sekarang yang berpotensi untuk membuka orientasi politik baru di luar kapitalisme.
Darwinisme dialektis Marx
Konsepsi Marx tentang alam sangat dipengaruhi teori evolusi yang dikembangkan oleh  Charles Darwin.  Bagi Darwin, alam beserta mahluk hidup di dalamnya dipahami sebagai sesuatu yang selalu berevolusi, selalu berubah. Evolusi ini sendiri adalah proses sejarah alam yang terbuka yang dipandu oleh kontingensi, yang dimungkinkan untuk dijelaskan secara rasional (hal. 16). Penjelasan ini sendiri bukan sesuatu yang baru bagi Marx, karena ia sendiri menganut pandangan tentang materialisme yang berangkat dari proposisi bahwa materi selalu bergerak dan berubah. Ide ini sendiri dapat ditelusuri asal-usulnya dari filsuf Yunani kuno Epikurus, dimana Marx menjadikan Epikurus sebagai subyek studi disertasi doktoralnya yang berjudul Perbedaan antara Filsafat Alam Demokritean dan Epikurian. Kontribusi lain yang tidak kalah penting dari Darwin bagi konsepsi alam Marx adalah dimungkinkannya memahami pergerakan serta perubahan ini tanpa adanya telos (tujuan). Posisi anti telos dari teori Darwin memberikan terang bahwa dalam perkembangannya, alam tidak memiliki maksud serta tujuan apapun yang membuatnya harus bergerak dalam determinisme tujuan tersebut. Sebelum Darwin, kuat anggapan bahwa terdapat ’intervensi surgawi’ yang mengutak-atik perkembangan alam itu sendiri, yang pada akhirnya membuat alam harus mengikuti keinginannya. Di tangan Darwin, pendapat lama ini berhasil dimentahkan, bahwa penyebab terjadinya perubahan bukan karena adanya ‘intervensi surgawi,’ melainkan alam berubah karena adanya dinamika internal yang secara inheren melekat pada alam itu sendiri. Dinamika itu muncul karena upaya adaptasi mahluk hidup dengan situasi alaminya dalam rangka mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini ada kesalingterhubungan yang erat antara makhluk hidup dengan alam itu sendiri.
Implikasi dari teori Darwin bagi materialisme Marx sangat krusial. Menurut Foster, dengan mengutip Rachel Carson,2 kesalingterhubungan antara makhluk hidup dan alam tidak terjadi dalam suatu kompartemen yang terisolir, akan tetapi terjadi dalam ‘kesatuan yang luar biasa antara organisme dengan lingkungannya’ (hal. 16). Dalam pemahaman ini maka prinsip dialektika menjadi tak terelakkan. Diperlukan aparatus pengetahuan yang lebih kuat untuk dapat menjelaskan pertanyaan ini. Dialektika Hegel yang menempatkan totalitas serta kontradiksi memberikan Marx cara pandang yang  kreatif untuk memahami evolusi Darwin. Melalui totalitas, evolusi dilihat sebagai proses menyeluruh dimana alam mengikutsertakan manusia sekaligus manusia menjadi bagian dari alam. Dengan kontradiksi, maka relasi antara alam dan manusia tidak dapat dipahami satu arah semata dimana manusia sepenuhnya tunduk kepada alam, namun manusia memiliki kapasitas yang sama untuk mempengaruhi alam.
Selain itu, pemahaman ini memberikan pendasaran ontologis bagi penjelasan materialisme historis itu sendiri. Materialisme historis tidak dapat lagi mendasarkan penjelasan teoritis pada sebatas problem relasi sosial produksi semata, akan tetapi harus memberikan perhatian yang cukup pada problem ekologis yang melingkupi relasi sosial produksi tersebut karena ekologi juga mempengaruhi dinamika relasi sosial produksi. Dalam hal ini, Foster memberikan satu contoh sederhana mengenai bagaimana relasi resiprokal ini terjadi. Ia menulis, ’tanah mengalami perubahan evolusi yang lama sebagai akibat langsung dari aktivitas tanaman yang tumbuh di atasnya, dan perubahan ini pada gilirannya memberikan pengaruh balik pada kondisi eksistensi organisme.’

Ekologi melalui metabolisme manusia dan alam

Kunci dari penjelasan ekologi Marx terletak pada elaborasi atas ide mengenai hubungan antara alam dengan manusia. Bagi Marx, relasi ini berproses layaknya metabolisme dimana kerja manusia menjadi mediasi utamanya. Dalam bukunya, Capital, melalui kerja, manusia berupaya untuk mengelola metabolisme antara dirinya dan alam. Akan tetapi dikarenakan relasi produksi serta pemisahan desa-kota yang antagonistik, proses metabolistik ini menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘keretakan yang tidak dapat diperbaiki’ (hal. 141). Dalam kerangka ‘keretakan metabolisme’ atas alam dan manusia inilah posisi ekologi Marx dibangun.
Penjelasan Marx mengenai ‘keretakan metabolisme’ ini dimulai dengan kritiknya terhadap teori populasi-lebihnya (overpopulation) Thomas Malthus. Teori Malthus, bagi Marx, sangat problematik dari dua sisi. Sisi pertama,  teori itu  tidak lebih sebagai ekspresi brutal dari kepentingan modal. Namun lebih dari pada itu, Mathus menganggap masalah populasi-lebih terjadi di semua epos masyarakat. Walau Marx mengakui keberadaan fenomena populasi-lebih dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya, akan tetapi Marx mempertanyakan penolakan Malthus untuk melihat perbedaan spesifik yang ia anggap ada dalam formasi sosial yang berbeda yang terjadi di tiap fase berbeda perkembangan sejarah. Dalam hal ini, Marx menekankan pentingnya memperhatikan perbedaan modus produksi sosial yang  mendeterminasi perkembangan masyarakat yang kemudian mengondisikan fenomena populasi-lebih (hal. 143).
Konsekuensi dari pentingnya melihat perkembangan historis, membuat Marx harus melakukan pembongkaran atas rasio aritmatik yang menjadi pembenaran bagi keterbatasan sumber daya alam untuk menopang pertumbuhan jumlah populasi. Dalam hal ini, Marx kemudian mengarahkan pertanyaannya pada problem sumber daya alam yang pada saat itu banyak dielaborasi oleh tradisi ekonomi klasik melalui teori sewa tanah. Pada titik ini, gagasan ekonom klasik seperti David Ricardo, masuk ke dalam diskusi teoritis Marx tentang ekologi karena kontribusinya terhadap perkembangan teori sewa tanah pada saat itu. Marx dan Ricardo sejalan ketika melihat kesalahkaprahan Malthus, dimana bukan jumlah benih yang menyebabkan terjadinya kelebihan populasi, akan tetapi tingkat pengangguran. Namun Marx mencatat poin dimana, menurutnya, teori sewa tanah Ricardo sama dengan teori Malthus, karena keduanya sama-sama tidak memberikan perhatian teoritis yang cukup pada dimensi perkembangan historis.
Dari situ Marx kemudian mengalihkan pandangannya pada penjelasan James Anderson mengenai teori sewa tanah, yang menurutnya lebih superior dibandingkan Ricardo dan Malthus. Sewa, menurut Anderson, dikenakan untuk penggunaan tanah yang lebih subur. Kurangnya kesuburan tanah pada saat penanaman hanya cukup untuk menutupi biaya produksi, sementara tanah yang lebih subur menciptakan sewa tanah yang lebih besar. Perbedaan mendasar Anderson dibanding ekonom klasik sebelumnya adalah ia berpendapat bahwa tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh perubahan historis seperti perkembangan teknologi dan cara produksi. Anderson menambahkan, kegagalan untuk mendorong peningkatan kesuburan tanah lebih banyak disebabkan oleh kegagalan untuk mengadopsi praktik agrikultur yang rasional dan berkelanjutan (hal. 145). Penjelasan Anderson ini memperkuat posisi Marx, sekaligus mengakhiri tendensi ekonomi politik abad 18 dimana tanah masih dilihat sebagai hal yang terpisah dari historisitas perkembangan masyarakat.
Namun, Marx mendapat petunjuk teoritis lebih lanjut mengenai masalah ekologis dalam kapitalisme ketika ia mempelajari studi Justus von Liebieg mengenai komposisi tanah.  Menurut Liebieg, pengetahuan agrikultur sebelum 1840an cenderung menekankan pada  peranan ternak dan ‘kekuatan laten’ tanah semenjak properti kimia dalam tanah belum diketahui pada saat itu, yang membuat kondisi nutrisi tanaman juga belum diketahui. Tidak heran, pada saat itu, kekuatan laten yang terkandung dalam tanah selalu dilihat sebagai sesuatu yang  terbatas dan dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dirusak.  Dalam hal ini, pengetahuan kimia yang dikembangkan oleh Liebieg mampu untuk mengatasi keterbatasan yang ada pada saat itu. Kajian Liebieg mendorong penggunaan intervensi manusia yang lebih besar (melalui teknik kimia, tentu saja) pada tanah, sekaligus membuka kemungkinan yang luas untuk terjadinya revolusi pertanian.
Implikasi dari kajian Liebieg tentang penggunaan kimia pada tanah adalah terbukanya potensi yang luas bagi terjadinya degradasi tanah. Konsep ‘keretakan metabolisme’ yang diajukan Marx menjadi relevan di sini, karena kapitalisme dalam rangka menciptakan maksimalisasi keuntungan akan menggunakan teknik kimia sebesar-besarnya untuk mendorong tingkat kesuburan yang diharapkan. Atas nama keuntungan, tanah harus dieksploitasi melalui bahan-bahan kimia yang berimplikasi pada penurunan kualitas tanah itu sendiri. Dalam hal  ini, keretakan metabolisme dapat dipahami secara literal sebagai intervensi berlebih manusia pada alam sehingga mengakibatkan hubungan antara alam dengan manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi metabolistik antara keduanya. Pada tahun 1852, Marx menulis, ‘tanah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar pada hukum komersial yang berlaku…’ (hal. 156). Secara spesifik Marx memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antagonistik antara desa dengan kota, dimana tanah-tanah subur di pedesaan ‘dirampok’ dalam rangka mendukung industrialisasi.
Bagi Foster, konsep metabolisme adalah kunci bagi penjelasan mengenai ekologi Marx. Metabolisme dipahami langsung sebagai elemen dalam gagasan ‘pertukaran material’ yang mendasari proses terstruktur pertumbuhan dan pembusukan secara biologis.  Metabolisme digunakan sebagai cara untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan alam melalui kerja. Dalam gagasan yang lebih luas, yang secara khususnya dijelaskan dalam Grundrisse, metabolisme yang dimaksud memiliki arti ekologis sekaligus sosial, dimana metabolisme manusia dengan alam yang rumit, kompleks serta saling terhubung dieskpresikan melalui organisasi konkrit kerja manusia dalam kaptialisme yang secara terus-menerus teralienasi. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filsafat tahun 1844, Marx menulis, ‘manusia hidup dalam alam atau alam adalah tubuhnya, dan ia harus mempertahankan dialog dengan alam jika manusia tidak ingin mati. Untuk mengatakan bahwa secara kehidupan fisik dan mental manusia terhubungkan dengan alam sama seperti mengatakan alam terhubung dengan dirinya sendiri, dimana manusia adalah bagian dari alam’ (hal. 158).
Akan tetapi penjelasan Marx ini tidak dapat dipahami sebagai suatu ekspresi romantik Marx tentang alam dan juga ekologi. Posisi Marx tentang metabolisme justru ekspresi atas gagasan alienasi terhadap alam yang berhubungan erat dengan alienasi atas kerja. Menurut Tim Hayward yang dikutip oleh Foster, gagasan metabolisme sosio-ekologis Marx menangkap aspek fundamental keberadaan manusia sebagai makhluk alam sekaligus sosial, dimana metabolisme diatur dari dari sisi alam melalui hukum alam yang melingkupi berbagai proses fisik, dan dari sisi masyarakat melalui insititusionalisasi norma yang mengatur pembagian kerja dan distribusi kekayaan (hal. 159). Komponen yang esensial dari konsep metabolisme adalah adanya gagasan bahwa relasi ini adalah dasar yang membuat jaring interaksi kehidupan yang kompleks dapat berlanjut dan pertumbuhan menjadi mungkin. Dengan adanya ‘keretakan metabolisme’ keseluruhan dasar itu menjadi terancam eksistensinya dan selanjutnya kemudian mengancam kehidupan manusia secara lebih luas. Dari sini ide tentang ketidakberlanjutan kapitalisme mengemuka, karena relasi metabolistik manusia dan alam akan selalu berhadapan secara antagonistik akibat kepentingan kapitalisme untuk memaksimalisasi keuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar