Minggu, 13 April 2014

AsiaWeek Mengungkap Dalang Dibalik Peristiwa Mei 1998

[Bagian II]

SITUASI Trisakti pada 12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal menuju gedung DPR/MPR, mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah jam kemudian, asistennya menelepon bahwa polisi mengancam akan memakai kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di jalanan menggelar aksi dan tidak mau kembali ke kampus.

Pukul 16.15, kesepakatan pun tercapai. Mahasiswa dan polisi perlahan-lahan meninggalkan garis batas lima meter. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain masih rileks di jalanan atau berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di tepi jalan. Ketua Senat Mahasiswa Julianto Hendro tampak menenggak air kemasan.

Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andoyo pun bertolak pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa menghentikan protes.

Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud, mahasiwa Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim Masud adalah orangnya.

Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan rekan-rekannya agar tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45 WIB, seorang letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi deadline 15 menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi.

Menurut Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar mundur. Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak sampai melewati garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian menyulut kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa suasana sebenarnya mulai tenang.

Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja minuman di pinggir jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga ke pintu gerbang kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi, peluru-peluru terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto yang saat itu sudah di depan kantor senat.

Menghadapi keadaan itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan melemparkan botol dan batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin benar bahwa peluru yang diberondongkan kepada mereka adalah peluru karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.

Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk mengamankan aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis kekuatan: polisi di depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan pentungan; lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan gas air mata dan senapan stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga adalah tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta lapis keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor yang bersenjatakan senapan air.

Pada hari itu, dua komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel sama sekali tidak memakai amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan laras Steyr AUG dan SS-1 yang diisi dengan peluru kosong dan 12 peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing diisi lima gas kanister. Namun, ‘’seseorang’’ benar-benar memakai peluru nyata.

Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor melesat di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil (Brimob). Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.

Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.

Sementara itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan polisi. Mereka berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan batu. Korban gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan Arri secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang, nyawa Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik pintu gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari lehernya. Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.

Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak di kepala dan meninggal di rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika dia berhenti berlari untuk membersihkan perih di matanya yang terkena gas. Dia meninggal di kampus itu.

Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi yang diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.

Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak terlibat.

Empat nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk memulihan luka di dada yang juga menggores ginjalnya.

Pukul 20.00 WIB, Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus dengan mengenakan pakaian putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa orang-orang di dalam kampus butuh pertolongan medis. Setelah itu, tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak memberikan jaminan keamanan ambulans yang membawa para korban itu.

Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang dipakai terbuat dari karet.

Beberapa saat setelah penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Cina di Sunter dalam keadaan siaga. Malam itu, Imam Suyitno –warga sipil yang sudah dilatih meminta bala bantuan tentara dalam keadaan darurat– diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan. Dia berdiri mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan itu bersama rekan-rekannya.

Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.

13 MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang. Di sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan orasi. Kaum ‘’selebriti’’ politik Indonesia mengatakan, era baru segera datang. Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.

Kerumunan massa yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang kampus kini mulai meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium gelagat brutal itu, mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa pun mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir dekat Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api. Kerusuhan meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.

Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.

Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua praktisi hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak tahu-menahu soal penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak dugaan bahwa dia berseteru dengan Wiranto.

Kerusuhan terus meluas di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00 WIB, kata seorang perwira tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin agar mengirim pasukan untuk mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu. Syafrie benar-benar menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia tidak memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang sebenarnya sangat membutuhkan. Bahkan, dia tidak memberikan perintah yang jelas kepada pasukannya itu.

Menurut sumber perwira tinggi itu, Syafrie malah membuat pasukannya bingung. Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta diperintahkan pergi mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat itulah Prabowo mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit pasukan elite cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.

Sekitar pukul 19.00 WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Syafrie. Saat itulah, Wiranto merasa tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan Syafrie. Karena itu, Wiranto kemudian meminta Pangdam Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.

Padahal, perjalanan menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo dan perwira-perwira yang loyal kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa mengontrol sebagian besar wilayah Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari Jawa Tengah. Sumber-sumber intern mengatakan, Wiranto memang sengaja tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal kepadanya karena cemas akan terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan Prabowo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar