[Bagian II]
SITUASI Trisakti pada 12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal
menuju gedung DPR/MPR, mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi
keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah
jam kemudian, asistennya menelepon bahwa polisi mengancam akan memakai
kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di jalanan menggelar aksi
dan tidak mau kembali ke kampus.
Pukul 16.15, kesepakatan pun tercapai. Mahasiswa dan polisi
perlahan-lahan meninggalkan garis batas lima meter. Sebagian besar
mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain masih rileks di jalanan atau
berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di tepi jalan. Ketua
Senat Mahasiswa Julianto Hendro tampak menenggak air kemasan.
Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas
ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andoyo pun bertolak
pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri
di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa menghentikan
protes.
Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai
menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis
polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud, mahasiwa
Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim Masud
adalah orangnya.
Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam
Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan rekan-rekannya agar
tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45 WIB, seorang letkol
polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi deadline 15 menit
agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak seruan itu
dan tetap berdiri di depan barikade polisi.
Menurut Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar
mundur. Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak sampai
melewati garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian
menyulut kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa suasana
sebenarnya mulai tenang.
Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi
pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan
tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di
gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja minuman di pinggir
jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga ke pintu gerbang
kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi, peluru-peluru
terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto yang
saat itu sudah di depan kantor senat.
Menghadapi keadaan itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan
melemparkan botol dan batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin
benar bahwa peluru yang diberondongkan kepada mereka adalah peluru
karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur
dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk mengamankan
aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis kekuatan: polisi di
depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan pentungan; lapis kedua adalah
polisi yang bersenjatakan gas air mata dan senapan stun (yang bisa
membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga adalah tentara dengan gas air
mata dan senapan berpeluru karet; serta lapis keempat terdiri atas
satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor yang bersenjatakan
senapan air.
Pada hari itu, dua komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel sama
sekali tidak memakai amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan laras
Steyr AUG dan SS-1 yang diisi dengan peluru kosong dan 12 peluru karet,
plus SS-1 yang masing-masing diisi lima gas kanister. Namun,
‘’seseorang’’ benar-benar memakai peluru nyata.
Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor melesat
di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus Trisakti
dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil (Brimob).
Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum demonstrasi itu, empat
anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu
membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat
mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.
Sementara itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan
polisi. Mereka berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan
batu. Korban gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan
Arri secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang, nyawa
Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik pintu
gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari lehernya.
Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.
Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di
kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak di kepala dan meninggal di
rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika
dia berhenti berlari untuk membersihkan perih di matanya yang terkena
gas. Dia meninggal di kampus itu.
Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru
yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang
dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi yang
diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.
Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu
tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni
lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak terlibat.
Empat nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan
sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat
kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga
sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk memulihan
luka di dada yang juga menggores ginjalnya.
Pukul 20.00 WIB, Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus
dengan mengenakan pakaian putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa
orang-orang di dalam kampus butuh pertolongan medis. Setelah itu,
tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke
rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak memberikan jaminan keamanan
ambulans yang membawa para korban itu.
Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa
luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang
dipakai terbuat dari karet.
Beberapa saat setelah penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Cina di
Sunter dalam keadaan siaga. Malam itu, Imam Suyitno –warga sipil yang
sudah dilatih meminta bala bantuan tentara dalam keadaan darurat–
diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan. Dia berdiri mengawasi
keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan itu bersama
rekan-rekannya.
Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang
supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun
dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu
menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan
kegelapan malam.
13 MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara
belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di
atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang. Di
sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan orasi.
Kaum ‘’selebriti’’ politik Indonesia mengatakan, era baru segera datang.
Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.
Kerumunan massa yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang
kampus kini mulai meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium
gelagat brutal itu, mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak
akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa pun
mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir dekat
Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api. Kerusuhan
meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor
Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui
Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan
Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu
dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.
Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran
bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua praktisi
hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak tahu-menahu soal penculikan
para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak dugaan bahwa dia berseteru
dengan Wiranto.
Kerusuhan terus meluas di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00
WIB, kata seorang perwira tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu)
Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin agar mengirim pasukan untuk
mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu. Syafrie benar-benar
menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia tidak
memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang
sebenarnya sangat membutuhkan. Bahkan, dia tidak memberikan perintah
yang jelas kepada pasukannya itu.
Menurut sumber perwira tinggi itu, Syafrie malah membuat pasukannya
bingung. Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta diperintahkan
pergi mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat itulah Prabowo
mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit pasukan elite
cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.
Sekitar pukul 19.00 WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Syafrie. Saat
itulah, Wiranto merasa tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan
Syafrie. Karena itu, Wiranto kemudian meminta Pangdam Diponegoro
mengirim pasukan ke Jakarta.
Padahal, perjalanan menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo dan
perwira-perwira yang loyal kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa
mengontrol sebagian besar wilayah Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari
Jawa Tengah. Sumber-sumber intern mengatakan, Wiranto memang sengaja
tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal kepadanya karena cemas akan
terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan Prabowo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar