[Bagian I]
Mulanya, 4 Perwira Polisi Hilang Misterius
Bulan Mei 1998, sejarah dunia
mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya
Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan
juga berlangsung dengan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu
kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi di balik debu. Laporan
investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard dari Asiaweek mengungkap,
kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya menyimpulkan,
kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi. Berikut
intisarinya.
‘’SEPULUH hari yang mengoyak
Indonesia.’’ Begitu majalah berita terkemuka di Asia itu menyebut
huru-hara yang menimpa Indonesia selama Mei lalu. Kisah ini dimulai
bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu berhenti ketika 4
mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati oleh oknum aparat
keamanan.
Dalam tempo 24 jam, insiden
penembakan itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah
program anti-Cina dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan
Cina berlarian meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah
‘’zona perang.’’ Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur.
Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum jelas.
Sampai detik terjadinya kerusuhan
–batu merajam bangunan mewah dan api melahap mobil-mobil–, rakyat semula
banyak mengira itu sebuah spontanitas massa. Massa yang marah terhadap
penguasa yang terlalu lama memerintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah
sedemikian brutal?
Sejarah Indonesia memang beberapa
kali mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya,
hampir tidak pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok
‘’pemimpin bayangan’’. Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka
mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah
anti menjamahnya.
Kali ini, insiden Trisakti itu
memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan
militer sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur
saja, sebagian rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya
‘’kambing hitam’’. Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya
melindungi kepentingan militer yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan penuh
Asiaweek –termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara,
aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata–
menyimpulkan, penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi
pemerkosaan terhadap para wanita Cina itu benar-benar sudah
direncanakan.
Di antara bukti yang didapat selama
investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan
seragamnya beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula,
peluru yang diambil dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi
milik kepolisian.
Belum cukup di situ. Bukti lain
menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian,
mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan.
Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka
berhasil menyadap arus komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan
kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu
sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini
memang tidak pernah gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut
terkait dengan serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto,
Letjen TNI Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan,
beberapa kalangan menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat
jelas.
Namun, Fadli Zon –aktivis muslim
yang dekat dengan Prabowo– menilai, sang letjen itu hanyalah korban
‘’pembunuhan karakter’’. Beberapa hari setelah kerusuhan itu, Prabowo
menyangkal terlibat dalam kerusuhan itu. Lewat perantaranya, Juni lalu
dia menyatakan siap diwawancarai Asiaweek. Tetapi, sampai kini janji
wawancara itu tidak pernah terwujud.
Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan
yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok
ambisius. Dia memiliki berbagai sarana untuk menyulut kerusuhan itu.
Dengan posisinya, dia juga mampu memerintahkan beberapa pemuda yang tak
berdaya melawan perintah, termasuk beberapa oknum dari organisasi
paramiliter yang dikenal jago menyulut kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum
paramiliter, dan beberapa perkumpulan pemuda melaksanakan saja apa yang
dia perintahkan. Beberapa di antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang
sudah mapan. Sumber-sumber militer mencurigai bahwa keterlibatan
organisasi lain dalam kerusuhan di Jakarta itu tidak lebih dari sebuah
jaringan lokal yang dikepalai para preman yang direkrut dari berbagai
provinsi untuk mengacau ibu kota.
‘’Prabowo terobsesi keyakinannya
bahwa satu-satunya cara bisa memerintah Indonesia adalah dengan tipu
muslihat militer. Dengan cara itu, dia yakin bisa meraih kekuasaan
seperti mertuanya meraih kekuasaan dari Soekarno,’’ ujar salah seorang
perwira militer senior.
Dia menjelaskan, Prabowo sengaja
menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat itu) KSAD
Jenderal TNI Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan. Harapan Prabowo
adalah Soeharto, yang ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir,
memberlakukan undang-undang darurat. Sebagai panglima Kostrad, satuan
inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah yang bisa mengendalikan
situasi. Inilah teorinya.
Teori lain mengatakan, Prabowo
sengaja menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa
Prabowo mampu mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang
terjadi kemudian?
Prabowo kehilangan pelindung
sekaligus komandonya. Negaranya menanggung kerugian yang jauh lebih
besar. Setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40
mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119
mobil dibakar atau dirusak.
Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini terjadi? Mari kita telusuri sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.
12 MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB,
mahasiswa mulai berkumpul di pelataran parkir di luar kampus Universitas
Trisakti yang megah dengan bentuk M berlantai dua belas itu. Ini
merupakan demo terbesar pertama yang dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa
yang ikut pun berasal dari bermacam golongan dan strata sosial. Ada
anak-anak birokrat, pengusaha, diplomat, dan bahkan anak orang militer.
Areal parkir, biasanya dipenuhi
Kijang, Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali
mahasiswa yang protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul
11.00 WIB, bendera Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu,
mahasiswa dan dosen menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka
mengheningkan cipta sesaat sebelum akhirnya berteriak meminta Soeharto
mundur.
Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000
mahasiwa bergerak menuju jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad
melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti –Dekan
Fakultas Hukum Adi Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa,
dan Ketua Senat Mahasiwa Julianto Hendro–melakukan negosiasi dengan
aparat keamanan. Saat itu jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB.
Perwakilan Trisakti itu meminta
aparat mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat sejauh 5 km.
Tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa dan duduk-duduk
sambil terus beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan penyesalannya
karena keinginan bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan.
Orasi, lagu kebangsaan, dan pekik protes terus berlangsung meski hujan
mengguyur. Beberapa demonstran malah dengan akrab meletakkan bunga di
pelatuk senapan para polisi yang berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah
kabar dari Golkar, kelompok yang merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun
sanggup menerima mereka. Berdiri tegak di tengah polisi dan
rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada mahasiswa yang kecewa. Meski
kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar