Masaji Antoro menulis catatan baru: Rukun Sholat “I’tidal” (berdiri setelah bangkit dari ruku').
15 Juli 2010 pukul 22:26 ·
I’tidal adalah posisi tegak kembali pada keadaan semula seperti saat sebelum ruku’ (apabila sebelum ruku’ seseorang sholat dengan berdiri maka I’tidalnya berdiri kembali, apabila sebelum ruku’ sholatnya dengan duduk maka i’tidalnya berarti duduk kembali)
Dalil yang mengharuskan I’tidal :
Sabda Nabi Muhammad SAW "Allah tidak akan melihat kepada sholat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku' dan sujudnya." (HR Ahmad, dengan isnad shahih)
Nabi bersabda pada orang-orang yang tidak baik sholatnya “Bangunlah, sehingga kamu berdiri tegak” (HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah Ra “Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu" (HR. Muslim)
Menurut madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali I’tidal tergolong rukunnya sholat yang apabila tidak dikerjakan (dengan kesengajaan) berakibat batalnya sholat (berdasarkan hadits diatas) sedang menurut Maszhab Hanafi I’tidal tidak termasuk rukunnya sholat tapi termasuk wajibnya sholat dalam arti apabila I’tidal tidak dikerjakan sholatnya tetap sah hanya saja berdosa karena meninggalkan barang wajib.
Syarat sempurnanya I’tidal ;
1. Hendaknya semua rukun yang telah dikerjakan ( sebelum I’tidal ) harus dikerjakan dengan sempurna ( sah )
2. Tidak bangkit dari ruku’ selain untuk I’tidal,
3. Thuma’ninah saat I’tidal.
4. Thuma’ninah harus dikerjakan dengan yakin, artinya seorang yang mengerjakan sholat ia harus benar-benar yakin, bahwa ia telah tenang sejenak saat I’tidal
5. I’tidal dilakukan dengan meluruskan secara sempurna tulang puggung kita
6. Menurut menurut madzhab Imam Syafi’i, tidak boleh berlama-lama dalam I’tidal, selain membaca do’a yang telah di syariatkan, kecuali pada roka’at akhir, karena disitu disyariatkan membaca do’a qunut dan kadar/batas lamanya I’tidal tidak boleh lebih lama dari membaca surat al-fatihah.
Bacaan-bacaan Doa yang disunnahkan dalam i’tidal
Dari Rafi’, sesungguhnya ia berkata, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala beliau bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan
“SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH” “Allah mendengar orang yang memujinya”
Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca:
‘RABBANA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI’
“Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.”
Maka tatkala Rasulullah saw selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa.” Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah saw berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (Shahih Ibnu Khuzaimah).
Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah saw ketika bangun dari ruku’ (i’tidal) beliau mengucapkan:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL’U MA SYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU. ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WALA MU’THIYA LIMA MANA’TA WA LA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
“Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)
Posisi tangan sewaktu I’tidal
Terjadi perbedaan pendapat tentang kesunnahan bersedekap atau tidaknya tangan sewaktu I’tidal karena tidak terdapatkannya satu hadits yang secara pasti mejelaskan tentang sedekap ketika i'tidal, kecuali dua hadits yang dipergunakan sebagian ulama untuk menunjukkan sunnahnya perbuatan ini.
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ
"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat". [HR. Bukhari].
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Saw meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya". [HR. Bukhari].
Kedua hadits di atas tidak secara jelas menunjukkan hukum perbuatan tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam mensikapi permasalahan sedekap, dan perbedaan pendapat ini sudah berlangsung sejak zaman Imam Ahmad bin Hambal sedang memurut Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm dan dalam literatur kitab-kitab Fiqh Syafi'iyyah yang lain posisi tangan sewaktu i'tidal yang lebih utama dilepas (tidak bersedekap) kecuali bila dikhawatirkan terjadi 'abats (mengganggu konsentrasi dalam sholat). Wallahu A'lam
15 Juli 2010 pukul 22:26 ·
I’tidal adalah posisi tegak kembali pada keadaan semula seperti saat sebelum ruku’ (apabila sebelum ruku’ seseorang sholat dengan berdiri maka I’tidalnya berdiri kembali, apabila sebelum ruku’ sholatnya dengan duduk maka i’tidalnya berarti duduk kembali)
Dalil yang mengharuskan I’tidal :
Sabda Nabi Muhammad SAW "Allah tidak akan melihat kepada sholat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku' dan sujudnya." (HR Ahmad, dengan isnad shahih)
Nabi bersabda pada orang-orang yang tidak baik sholatnya “Bangunlah, sehingga kamu berdiri tegak” (HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah Ra “Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu" (HR. Muslim)
Menurut madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali I’tidal tergolong rukunnya sholat yang apabila tidak dikerjakan (dengan kesengajaan) berakibat batalnya sholat (berdasarkan hadits diatas) sedang menurut Maszhab Hanafi I’tidal tidak termasuk rukunnya sholat tapi termasuk wajibnya sholat dalam arti apabila I’tidal tidak dikerjakan sholatnya tetap sah hanya saja berdosa karena meninggalkan barang wajib.
Syarat sempurnanya I’tidal ;
1. Hendaknya semua rukun yang telah dikerjakan ( sebelum I’tidal ) harus dikerjakan dengan sempurna ( sah )
2. Tidak bangkit dari ruku’ selain untuk I’tidal,
3. Thuma’ninah saat I’tidal.
4. Thuma’ninah harus dikerjakan dengan yakin, artinya seorang yang mengerjakan sholat ia harus benar-benar yakin, bahwa ia telah tenang sejenak saat I’tidal
5. I’tidal dilakukan dengan meluruskan secara sempurna tulang puggung kita
6. Menurut menurut madzhab Imam Syafi’i, tidak boleh berlama-lama dalam I’tidal, selain membaca do’a yang telah di syariatkan, kecuali pada roka’at akhir, karena disitu disyariatkan membaca do’a qunut dan kadar/batas lamanya I’tidal tidak boleh lebih lama dari membaca surat al-fatihah.
Bacaan-bacaan Doa yang disunnahkan dalam i’tidal
Dari Rafi’, sesungguhnya ia berkata, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala beliau bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan
“SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH” “Allah mendengar orang yang memujinya”
Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca:
‘RABBANA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI’
“Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.”
Maka tatkala Rasulullah saw selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa.” Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah saw berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (Shahih Ibnu Khuzaimah).
Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah saw ketika bangun dari ruku’ (i’tidal) beliau mengucapkan:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL’U MA SYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU. ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WALA MU’THIYA LIMA MANA’TA WA LA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
“Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)
Posisi tangan sewaktu I’tidal
Terjadi perbedaan pendapat tentang kesunnahan bersedekap atau tidaknya tangan sewaktu I’tidal karena tidak terdapatkannya satu hadits yang secara pasti mejelaskan tentang sedekap ketika i'tidal, kecuali dua hadits yang dipergunakan sebagian ulama untuk menunjukkan sunnahnya perbuatan ini.
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ
"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat". [HR. Bukhari].
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Saw meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya". [HR. Bukhari].
Kedua hadits di atas tidak secara jelas menunjukkan hukum perbuatan tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam mensikapi permasalahan sedekap, dan perbedaan pendapat ini sudah berlangsung sejak zaman Imam Ahmad bin Hambal sedang memurut Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm dan dalam literatur kitab-kitab Fiqh Syafi'iyyah yang lain posisi tangan sewaktu i'tidal yang lebih utama dilepas (tidak bersedekap) kecuali bila dikhawatirkan terjadi 'abats (mengganggu konsentrasi dalam sholat). Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar