Kamis, 19 September 2013
Jumat, 13 September 2013
SUMUR TUA TARAKAN
Pertamina mencoba teknologi baru untuk menaikkan produksi minyak di
sumur-sumur tua di ladang minyak Tarakan yang sudah berusia lebih 100
tahun. Caranya dengan menggunakan Electrical Submersible Pump (ESP).
Eksploitasi minyak besar-besaran di wilayah Kalimantan Timur sudah belangsung sejak ratusan tahun lalu. Ribuan juta barrel minyak disedot dari perut bumi Tarakan dan Sanga-sanga menyebabkan kandungan minyak tinggal sedikit. Itu sebab, tanpa teknologi baru, mustahil produksi minyak dari lapangan-lapangan ini dapat dioptimalkan.
Kini, PT Pertamina Unit Bisnis Eksplorasi dan Produksi (UBEP) Sanga-sanga dan Tarakan mengembangkan teknologi baru yang diharapkan bisa menaikkan produksi minyak dari sumur-sumur tua. Lapangan minyak Sanga-sanga dan Tarakan adalah ladang minyak tua yang selama ini dikelola oleh PT Medco EP Indonesia melalui Technical Assistance Contract (TAC) dan sejak 15 Oktober 2008 lalu kerja sama pengelolaan itu tidak diperpanjang lagi.
Produksi meningkat dari rata-rata 4.300 barrel hingga 5.200 barrel per hari setelah kedua lapangan yang selama 16 tahun dikelola Medco EP Indonesia ini kembali dikerjakan sendiri Pertamina. “Berdasarkan perhitungan kami, dengan teknologi sekarang, Electrical Submersible Pump (ESP), produksi minyak dapat kita tingkatkan,” papar General Manager Pertamina UBEP Sanga-sanga Tarakan, Satoto Agustono kepada S Leonard Pohan wartawan Berita Indonesia di Tarakan, belum lama ini.
Untuk menambang minyak, selama ini PT Medco menerapkan pumping well atau pompa angguk, gaslift, dan flowing well. Dari sekitar 1.500 sumur tua di Tarakan dan Sanga-sanga, hanya 103 sumur yang berproduksi, 61 sumur berada di Tarakan. “Kita akan melakukan pengelolaan sumur-sumur tua yang dalam istilah perminyakan disebut reaktivasi. Kalau sumur itu masih potensial, kenapa tidak,” ujar Satoto Agustono menjawab Berita Indonesia atas banyaknya bangunan-bangunan baik milik Pemerintah maupun kepunyaan masyarakat di Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) di kedua daerah ini.
Penambangan minyak di Tarakan sendiri sudah berjalan seratus tahun lebih. Lebih seribu sumur minyak dibor di pulau dengan luas daratan sekitar 241,5 kilometer (Km2) ini. Sejak ditemukan minyak bumi di Kampung Satu tahun 1897 akhirnya sebuah perusahaan minyak Belanda Nederlandsch Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) melakukan pengeboran pada koordinat X=1812,66 – Y=2974,24 dengan kedalaman 290 meter yang diberi nama sumur Pamusian 1. Pada Tahun 1906 pengelolaan tambang minyak Tarakan diserahkan kepada Bataafsche Petrolium Maatschappij (BPM) dengan produksi pertama 23 ton minyak.
Pada tahun 1928, BPM sudah berhasil membor 418 sumur minyak di Area Pamusian dengan produksi 22.700 barrel per hari. Melihat produksi ini, perusahaan minyak Belanda ini memperluas wilayah pengeborannya ke Sesanip, Gunung Cangkol, Mangatal, dan Juwata. Sampai tahun 1935, BPM berhasil membor 937 lobang sumur minyak. Sebanyak 857 sumur di Pamusian, 32 sumur Sesanip, dan 68 sumur di Gunung Cangkol dan Juwata.
Pada tahun 1942, masuknya tentara Jepang ke Indonesia, khususnya Tarakan - ratusan sumur minyak produktif sengaja dirusak dan dibakar oleh BPM. Pengelolaan minyak di Tarakan diambil alih Jepang, dan pada bulan Mei 1942 melakukan pengeboran sumur pertama di Pamusian dengan nama sumur E (Enemi) 657 yang kemudian berlanjut sampai bulan Juli 1945 membor sumur E 829. Atau hanya dalam waktu 3,5 tahun, Jepang berhasil membor 174 sumur minyak di Tarakan.
Kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II dan Indonesia merdeka, pada Desember 1946 BPM kembali mengelola ladang minyak di Tarakan. Namun, karena sesuatu hal, BPM meninggalkan Tarakan. Dari tahun 1950 sampai tahun 1968 atau selama 18 tahun kegiatan tambang minyak di Tarakan tidak ada. Pemerintah akhirnya, atau tepatnya 15 Oktober 1968 menyerahkan pengelolaannya kepada Pertamina. Namun setelah berjalan 2, 5 tahun atau pada 17 Maret 1971 Pertamina mengadakan Technical Assistance Contract (TAC) dengan REDCO sebuah perusahaan minyak Amerika, selanjutnya mengalihkan kepada Tesoro Petroleum Corporation, sebuah perusahaan Amerika.
Berdasarkan pengalihan tersebut, lapangan Tarakan dikelola Joint Operation Pertamina Tesoro (JOPT) dan pada 1 Desember 1980 semua karyawan Pertamina yang diperbantukan ke Tesoro diintegrasikan ke perusahaan asing ini atau menjadi karyawan Tesoro Indonesia Petroleum Company (TIPCO). Tapi, pengelolaan lapangan minyak tetap menggunakan sistem TAC sampai kontrak berakhir pada tanggal 15 Oktober 1980 yang kemudian diperpanjang 20 tahun.
Tampaknya, Tesoro memilih jalan menjual perusahaan itu. Setelah tiga tahun berjalan, tepatnya 15 Juni 1992 TIPCO mengalihkan seluruh sahamnya kepada PT Exspan Kalimantan salah satu anak perusahaan PT Medco Tbk. Selama 10 tahun, perusahaan minyak yang berpusat di San Antonio Amerika ini berhasil menggali 17 sumur minyak di Tarakan dengan kerja sama Production Sharing Contract (PSC). Medco sendiri, selain memelihara sumur-sumur tua (TAC), berhasil menemukan 33 sumur-sumur minyak dan gas baru. SLP (Berita Indonesia 68)
Eksploitasi minyak besar-besaran di wilayah Kalimantan Timur sudah belangsung sejak ratusan tahun lalu. Ribuan juta barrel minyak disedot dari perut bumi Tarakan dan Sanga-sanga menyebabkan kandungan minyak tinggal sedikit. Itu sebab, tanpa teknologi baru, mustahil produksi minyak dari lapangan-lapangan ini dapat dioptimalkan.
Kini, PT Pertamina Unit Bisnis Eksplorasi dan Produksi (UBEP) Sanga-sanga dan Tarakan mengembangkan teknologi baru yang diharapkan bisa menaikkan produksi minyak dari sumur-sumur tua. Lapangan minyak Sanga-sanga dan Tarakan adalah ladang minyak tua yang selama ini dikelola oleh PT Medco EP Indonesia melalui Technical Assistance Contract (TAC) dan sejak 15 Oktober 2008 lalu kerja sama pengelolaan itu tidak diperpanjang lagi.
Produksi meningkat dari rata-rata 4.300 barrel hingga 5.200 barrel per hari setelah kedua lapangan yang selama 16 tahun dikelola Medco EP Indonesia ini kembali dikerjakan sendiri Pertamina. “Berdasarkan perhitungan kami, dengan teknologi sekarang, Electrical Submersible Pump (ESP), produksi minyak dapat kita tingkatkan,” papar General Manager Pertamina UBEP Sanga-sanga Tarakan, Satoto Agustono kepada S Leonard Pohan wartawan Berita Indonesia di Tarakan, belum lama ini.
Untuk menambang minyak, selama ini PT Medco menerapkan pumping well atau pompa angguk, gaslift, dan flowing well. Dari sekitar 1.500 sumur tua di Tarakan dan Sanga-sanga, hanya 103 sumur yang berproduksi, 61 sumur berada di Tarakan. “Kita akan melakukan pengelolaan sumur-sumur tua yang dalam istilah perminyakan disebut reaktivasi. Kalau sumur itu masih potensial, kenapa tidak,” ujar Satoto Agustono menjawab Berita Indonesia atas banyaknya bangunan-bangunan baik milik Pemerintah maupun kepunyaan masyarakat di Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) di kedua daerah ini.
Penambangan minyak di Tarakan sendiri sudah berjalan seratus tahun lebih. Lebih seribu sumur minyak dibor di pulau dengan luas daratan sekitar 241,5 kilometer (Km2) ini. Sejak ditemukan minyak bumi di Kampung Satu tahun 1897 akhirnya sebuah perusahaan minyak Belanda Nederlandsch Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) melakukan pengeboran pada koordinat X=1812,66 – Y=2974,24 dengan kedalaman 290 meter yang diberi nama sumur Pamusian 1. Pada Tahun 1906 pengelolaan tambang minyak Tarakan diserahkan kepada Bataafsche Petrolium Maatschappij (BPM) dengan produksi pertama 23 ton minyak.
Pada tahun 1928, BPM sudah berhasil membor 418 sumur minyak di Area Pamusian dengan produksi 22.700 barrel per hari. Melihat produksi ini, perusahaan minyak Belanda ini memperluas wilayah pengeborannya ke Sesanip, Gunung Cangkol, Mangatal, dan Juwata. Sampai tahun 1935, BPM berhasil membor 937 lobang sumur minyak. Sebanyak 857 sumur di Pamusian, 32 sumur Sesanip, dan 68 sumur di Gunung Cangkol dan Juwata.
Pada tahun 1942, masuknya tentara Jepang ke Indonesia, khususnya Tarakan - ratusan sumur minyak produktif sengaja dirusak dan dibakar oleh BPM. Pengelolaan minyak di Tarakan diambil alih Jepang, dan pada bulan Mei 1942 melakukan pengeboran sumur pertama di Pamusian dengan nama sumur E (Enemi) 657 yang kemudian berlanjut sampai bulan Juli 1945 membor sumur E 829. Atau hanya dalam waktu 3,5 tahun, Jepang berhasil membor 174 sumur minyak di Tarakan.
Kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II dan Indonesia merdeka, pada Desember 1946 BPM kembali mengelola ladang minyak di Tarakan. Namun, karena sesuatu hal, BPM meninggalkan Tarakan. Dari tahun 1950 sampai tahun 1968 atau selama 18 tahun kegiatan tambang minyak di Tarakan tidak ada. Pemerintah akhirnya, atau tepatnya 15 Oktober 1968 menyerahkan pengelolaannya kepada Pertamina. Namun setelah berjalan 2, 5 tahun atau pada 17 Maret 1971 Pertamina mengadakan Technical Assistance Contract (TAC) dengan REDCO sebuah perusahaan minyak Amerika, selanjutnya mengalihkan kepada Tesoro Petroleum Corporation, sebuah perusahaan Amerika.
Berdasarkan pengalihan tersebut, lapangan Tarakan dikelola Joint Operation Pertamina Tesoro (JOPT) dan pada 1 Desember 1980 semua karyawan Pertamina yang diperbantukan ke Tesoro diintegrasikan ke perusahaan asing ini atau menjadi karyawan Tesoro Indonesia Petroleum Company (TIPCO). Tapi, pengelolaan lapangan minyak tetap menggunakan sistem TAC sampai kontrak berakhir pada tanggal 15 Oktober 1980 yang kemudian diperpanjang 20 tahun.
Tampaknya, Tesoro memilih jalan menjual perusahaan itu. Setelah tiga tahun berjalan, tepatnya 15 Juni 1992 TIPCO mengalihkan seluruh sahamnya kepada PT Exspan Kalimantan salah satu anak perusahaan PT Medco Tbk. Selama 10 tahun, perusahaan minyak yang berpusat di San Antonio Amerika ini berhasil menggali 17 sumur minyak di Tarakan dengan kerja sama Production Sharing Contract (PSC). Medco sendiri, selain memelihara sumur-sumur tua (TAC), berhasil menemukan 33 sumur-sumur minyak dan gas baru. SLP (Berita Indonesia 68)
Sabtu, 07 September 2013
ARB Alasan Saya Maju Jadi Calon Presiden
Banyak
orang menilai bahwa saya maju sebagai calon presiden Partai Golkar
merupakan ambisi pribadi saya. Ini jelas sebuah penilaian yang salah.
Karena sejak kecil saya tidak pernah bercita-cita menjadi presiden.
Perjalanan hidup dan pengabdian kepada bangsa lah yang mengantarkan saya
kepada keputusan tersebut.
Memang sejak dulu saya suka berorganisasi, mulai menjadi ketua kelas, ketua OSIS, ketua umum Senat Mahasiswa Elektro ITB, dan Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Saya juga mendirikan HIPMI dan jadi ketua HIPMI yang ke tiga, kemudian jadi ketua umum Persatuan Insinyur Indonesia dan ketua umum Kadin. Meski selalu menjadi pemimpin di setiap organisasi, saya belum pernah terfikir untuk menjadi pemimpin bangsa ini.
Rupanya antara cita-cita dan kenyataannya berbeda-beda. Dari semua, yang paling tepat adalah saya. Saya tulis di situ saya ingin menjadi insinyur dan pengusaha besar, dan ketika dibuka box cita-cita itu pada 1996, cita-cita saya itu tercapai. Kemudian kehidupan saya memang lebih banyak berkecimpung dalam dunia usaha. (Pengalaman saya di dunia usaha bisa dibaca di artikel ini).
Sampai pada 2004, Saya akhirnya masuk ke pemerintahan dan meninggalkan dunia usaha. Yang meminta saya masuk ke pemerintahan adalah Pak Jusuf Kalla. Saya memang akrab dan sering berdiskusi dengan beliau, karena saya ketua umum Kadin dan beliau pernah menjadi ketua Kadin Sulsel. Saat beliau menjadi Wakil Presiden, beliau menawarkan jabatan Menko Perekonomian kepada saya, tapi saya tolak. Kalau pun harus masuk di pemerintahan, saya hanya ingin menjadi penasihat presiden di bidang ekonomi saja. Saat itu bulan puasa dan Pak JK meminta saya pikir-pikir dulu. Malamnya setelah berbuka, beliau menelepon lagi dan bilang pada saya, bahwa saya harus masuk kabinet.
“Saya ini tidak punya temen di kabinet yang dari bisnis yang mengerti pemikiran-pemikiran saya. Kamu harus ikut, kalau mau berjuang harus basah, jangan cuma cuci-cuci muka,” kata Pak JK, yang kemudian membuat saya mau masuk pemerintahan dan menerima jabatan Menko Perekonomian.
Selama menjadi Menko Perekonomian banyak hal yang sudah saya lakukan. Misalnya saya berhasil melakukan negosiasi dengan Exxon di Blok Cepu. Awalnya Exxon memiliki sebesar 30 persen dan sudah disetujui pemerintah. Tapi saya berhasil menjadikan 3,5 persen. Sehingga negara bisa mendapat 93 persen, dan sisanya 3,5 persen milik Pertamina. Dari sisi manajemannya, saya buat jika direktur utamanya Exxon, maka presiden komisarisnya harus dari Pertamina. Jika wakil direktur utama Pertamina, wakil komisarisnya Exxon, dan begitu seterusnya. Selama negosiasi, saya terbang ke tempat-tempatnya Exxon itu pun saya tidak memakai uang negara, tapi memakai dana pribadi saya.
Suatu waktu, saya menaikkan harga BBM dengan guidance dari Pak JK dan presiden. Saya mengumumkan kenaikan BBM 114 persen dan itu menyelamatkan ekonomi Indonesia pada saat itu. Tentu dengan kompensasi pada masyarakat miskin di bidang pendidikan (BOS) dan kesehatan (Askeskin). Subsidi BBM yang sebelumnya sebagian besar dinikmati orang kaya kita alihkan ke orang miskin. Saya ambil tanggungjawab mengumumkan keputusan yang tidak populis ini. Saya didemo dan dihujat di mana-mana.
Sampai akhirnya saya dipindah jadi Menko Kesra. Terus terang pada awalnya saya marah atas keputusan presiden itu. Saya merasa kecewa, saya merasa dibuang. Bahkan saya mengekspresikan kemarahan saya dengan memakai dasi saya warnanya ungu saat pelantikan.
Namun kemudian seiring berjalannya waktu saya mendapat hikmahnya. Saya justru merasa berterimakasih dan bersyukur kepada Allah atas pemindahan saya jadi Menko Kesra. Sebab dengan jabatan ini ternyata saya mendapatkan banyak pelajaran berharga yang mengubah hidup saya.
Jika menjadi Menko Perekonomian, saya mungkin tidak akan banyak belajar sebagaimana di Kesra. Jika tetap jadi Menko Perekonomian, saya hanya akan berkutat dengan masalah ekonomi dan keuangan yang sebenarnya adalah makanan sehari-hari saya yang berlatar belakang seorang pengusaha. Tetapi, dengan menjadi Menko Kesra saya punya banyak pengalaman baru.Saat menjadi Menko Kesra, saya bisa berinteraksi dengan warga miskin secara langsung. Mempelajari atau melihat kemiskinan di literatur dengan berinteraksi dengan mereka secara langsung itu sangat berbeda. Saya jadi mengetahui problem-problem kesejahteraan rakyat secara langsung di lapangan, dengan mata kepala saya sendiri.
Persepsi saya juga banyak berubah. Dulu saya takut dengan orang yang menderita HIV/AIDS. Jangankan bersalaman, berdekatan saja saya takut. Namun dengan menjadi Menko Kesra saya mendapat informasi dan berinteraksi langsung dengan mereka. Saya kemudian berani berpelukan dengan mereka. Bahkan saya mengangkat penderita HIV/AIDS menjadi salah satu anggota komisi penanggulangan HIV/AIDS, meski banyak yang menentang awalnya.
Contoh lain dulu saya tidak mau makan ikan lele, ikan ini menurut saya kotor dan jorok. Tetapi setelah jadi menteri dan melihat sendiri peternakannya, saya jadi suka ikan lele. Selain itu, masih banyak contoh lainnya yang kesemuanya meninggalkan pengalaman berharga bagi saya.
Namun dari semua pengalaman itu ada satu pengalaman yang paling berkesan, yaitu pengalaman di Yahukimo, Papua. Saat saya berhasil menanggulangi bencana kelaparan di sana (pengalaman saya di Yahukimo, bisa dibaca di artikel ini).
Alhamdulilla dengan kerja keras itu bukan hanya kelaparan yang dapat diatasi, namun banyak juga saudara kita yang sebelumnya memilih bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka, mau kembali ke NKRI, setelah kita memberikan mereka kesejahteraan (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini).
Selain itu semua tentu saja masih banyak pengalaman menarik dan berharga lainnya saat saya menjadi Menko Kesra. Seperti cara penanggulangan kemiskinan (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini), PNPM Mandiri (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini), dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya yang masih berjalan sampai saat ini.
Untuk pengabdian saya di Kemenko Kesra ini, bahkan mendapat apresiasi dari negara. Jumat, 12 Agustus 2011, saya mendapatkan Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana atas pencapaian saya selama mengabdi sebagai Menko Kesra. Tapi tentu saja pengalaman yang saya dapat selama terjun ke masyarakat dan menanggulangi segala problemanya jauh lebih berharga.
Setelah tidak lagi di pemerintahan pada tahun 2009, saya kemudian menjadi ketua umum Partai Golkar. Sampai di sini masih belum terpikir juga keinginan untuk maju sebagai capres. Karena itu, dulu setiap ditanya apakah mau jadi capres, saya selalu bilang: terpikirkan saja belum.
Tetapi dengan berjalannya waktu, saya mulai berpikir, dengan segala pengalaman saya itu, apakah pengalaman yang diberikan Allah itu saya buang sia-sia, atau saya abdikan kepada rakyat. Lalu saya mulai membicarakan hal itu dengan istri saya. Istri saya pada awalnya tidak setuju. Lalu saya bilang pada ibu saya, jawabannya sama, juga tidak setuju. Anak-anak dan saudara saya juga tidak setuju.
Ibu saya bahkan mengatakan saya boleh maju jadi capres jika beliau sudah wafat. Karena Ibu saya dan keluarga saya tidak tahan melihat saya diserang, dihina, dan difitnah, jika maju sebagai capres. Ini yang membuat saya selalu menunda, ketika kader saya di Partai Golkar mendesak saya maju jadi capres (Soal pencapresan saya di Partai Golkar bisa dibaca di artikel ini).
Tetapi akhirnya saya memutuskan untuk maju. Saya maju bukan untuk ambisi pribadi saya. Bukan untuk harta, karena Alhamdulillah Allah member saya rejeki yang cukup banyak. Buka untuk jabatan atau popularitas, karena Alhamdulillah saya juga sudah cukup populer dan dikenal. Bahkan pula untuk kepentingan keluarga saya, karena justru merekalah yang paling menderita dengan keputusan saya ini. Karena waktunya dengan saya jadi berkurang, ikut mendapatkan dampak serangan dari lawan-lawan politik, dan sebagainya.
Bahkan mungkin jika orang di posisi saya, mereka lebih memilih menimang cucu dan jalan-jalan ke luar ngeri menikmati hidup, daripada capek-capek turun ke daerah-daerah, menghabiskan banyak waktu, dana, dan tenaga. Tapi itu bukan pilihan saya lebih memilih pengabdian pada bangsa dan negara dengan cara maju sebagai capres.
Saya ingin pengalaman saya berguna untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa ini. Apalagi, dari kandidat yang ada, saya lihat belum ada yang mempunyai pengalaman selengkap saya. Khususnya dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Saya tidak ngoyo, karena ini bukan ambisi, tapi sebuah pengabdian. Jika masyarakat tidak memberikan kepercayaan pada saya, dan Allah tidak mengizinkan saya jadi presiden, saya legowo dan akan mengabdi pada tempat lain. Makanya saat ada majalah yang maksudnya mengejek saya dengan judul mengatakan: hanya Tuhan yang bisa menjadikan ARB presiden. Saya senyum saja. Karena itu benar. Yang bisa menjadikan saya presiden memang Tuhan, karena hidup kita ini di tangan Allah. Kalau Dia menghendaki semua terjadi, begitu pula sebaliknya.
Tapi saya sangat optimis dan bekerja keras untuk mencapai hal itu. Bagi saya dengan optimis saja kita sudah separuh menang. Saya sadar perjuangan untuk itu sangat panjang dan terjal. Saya mengibaratkannya seperti mendaki Gunung Semeru. Tapi saya senang dengan tantangan, karena tantangan membuat adrenalin saya naik. Tantangan lah yang sesungguhnya membuat hidup kita lebih berarti dan bermakna. Alhamdulillah selama ini banyak tantangan dalam hidup ini yang berhasil saya lewati dan selesaikan dengan baik.
Saya sudah memilih. Saya siap dengan segala resikonya. Ibarat sebuah pohon: makin tinggi pohon makin
kencang anginnya. Tapi saya memilih jadi pohon yang tinggi, meski angin begitu kencang menyerang. Saya tidak mau menjadi rumput yang ada di bawah. Karena meski tak diterpa angin kencang, rumput diinjak-injak orang.
Itulah cerita mengapa saya maju menjadi capres. Sebuah proses pengabdian bagi bangsa, bukan sebuah ambisi pribadi. Semoga Allah SWT meridhoi melancarkan jalan saya, dan semoga rakyat Indonesia mendukung saya untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa ini.
Saya
ingat saat akan lulus SMA, saat itu tahun 1964. Saya dan teman-teman
menulis surat wasiat yang berisi cita-cita kami, lalu menempatkannya di
dalam box untuk kita buka pada tahun 1996. Waktu itu ada teman yang
mengatakan ingin menjadi pemimpin besar revolusi (istilah presiden pada
waktu itu), namun ternyata dia jadi pengusaha. Ada yang ingin berjuang
bawa senjata (jadi TNI), ternyata jadi guru.
Saya selalu menceritakan hal ini kepada mereka yang menanyakan alasan
saya bersedia maju sebagai calon presiden (capres) di berbagai
kesempatan. Seperti Jumat kemarin, 26 April 2013, saat acara silaturahmi
dengan karyawan ANTV dan VIVA group. Di dalam acara itu, saya
menceritakan latar belakang mengapa saya akhirnya bersedia maju sebagai
capres.Memang sejak dulu saya suka berorganisasi, mulai menjadi ketua kelas, ketua OSIS, ketua umum Senat Mahasiswa Elektro ITB, dan Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Saya juga mendirikan HIPMI dan jadi ketua HIPMI yang ke tiga, kemudian jadi ketua umum Persatuan Insinyur Indonesia dan ketua umum Kadin. Meski selalu menjadi pemimpin di setiap organisasi, saya belum pernah terfikir untuk menjadi pemimpin bangsa ini.
Rupanya antara cita-cita dan kenyataannya berbeda-beda. Dari semua, yang paling tepat adalah saya. Saya tulis di situ saya ingin menjadi insinyur dan pengusaha besar, dan ketika dibuka box cita-cita itu pada 1996, cita-cita saya itu tercapai. Kemudian kehidupan saya memang lebih banyak berkecimpung dalam dunia usaha. (Pengalaman saya di dunia usaha bisa dibaca di artikel ini).
Sampai pada 2004, Saya akhirnya masuk ke pemerintahan dan meninggalkan dunia usaha. Yang meminta saya masuk ke pemerintahan adalah Pak Jusuf Kalla. Saya memang akrab dan sering berdiskusi dengan beliau, karena saya ketua umum Kadin dan beliau pernah menjadi ketua Kadin Sulsel. Saat beliau menjadi Wakil Presiden, beliau menawarkan jabatan Menko Perekonomian kepada saya, tapi saya tolak. Kalau pun harus masuk di pemerintahan, saya hanya ingin menjadi penasihat presiden di bidang ekonomi saja. Saat itu bulan puasa dan Pak JK meminta saya pikir-pikir dulu. Malamnya setelah berbuka, beliau menelepon lagi dan bilang pada saya, bahwa saya harus masuk kabinet.
“Saya ini tidak punya temen di kabinet yang dari bisnis yang mengerti pemikiran-pemikiran saya. Kamu harus ikut, kalau mau berjuang harus basah, jangan cuma cuci-cuci muka,” kata Pak JK, yang kemudian membuat saya mau masuk pemerintahan dan menerima jabatan Menko Perekonomian.
Selama menjadi Menko Perekonomian banyak hal yang sudah saya lakukan. Misalnya saya berhasil melakukan negosiasi dengan Exxon di Blok Cepu. Awalnya Exxon memiliki sebesar 30 persen dan sudah disetujui pemerintah. Tapi saya berhasil menjadikan 3,5 persen. Sehingga negara bisa mendapat 93 persen, dan sisanya 3,5 persen milik Pertamina. Dari sisi manajemannya, saya buat jika direktur utamanya Exxon, maka presiden komisarisnya harus dari Pertamina. Jika wakil direktur utama Pertamina, wakil komisarisnya Exxon, dan begitu seterusnya. Selama negosiasi, saya terbang ke tempat-tempatnya Exxon itu pun saya tidak memakai uang negara, tapi memakai dana pribadi saya.
Suatu waktu, saya menaikkan harga BBM dengan guidance dari Pak JK dan presiden. Saya mengumumkan kenaikan BBM 114 persen dan itu menyelamatkan ekonomi Indonesia pada saat itu. Tentu dengan kompensasi pada masyarakat miskin di bidang pendidikan (BOS) dan kesehatan (Askeskin). Subsidi BBM yang sebelumnya sebagian besar dinikmati orang kaya kita alihkan ke orang miskin. Saya ambil tanggungjawab mengumumkan keputusan yang tidak populis ini. Saya didemo dan dihujat di mana-mana.
Sampai akhirnya saya dipindah jadi Menko Kesra. Terus terang pada awalnya saya marah atas keputusan presiden itu. Saya merasa kecewa, saya merasa dibuang. Bahkan saya mengekspresikan kemarahan saya dengan memakai dasi saya warnanya ungu saat pelantikan.
Namun kemudian seiring berjalannya waktu saya mendapat hikmahnya. Saya justru merasa berterimakasih dan bersyukur kepada Allah atas pemindahan saya jadi Menko Kesra. Sebab dengan jabatan ini ternyata saya mendapatkan banyak pelajaran berharga yang mengubah hidup saya.
Jika menjadi Menko Perekonomian, saya mungkin tidak akan banyak belajar sebagaimana di Kesra. Jika tetap jadi Menko Perekonomian, saya hanya akan berkutat dengan masalah ekonomi dan keuangan yang sebenarnya adalah makanan sehari-hari saya yang berlatar belakang seorang pengusaha. Tetapi, dengan menjadi Menko Kesra saya punya banyak pengalaman baru.Saat menjadi Menko Kesra, saya bisa berinteraksi dengan warga miskin secara langsung. Mempelajari atau melihat kemiskinan di literatur dengan berinteraksi dengan mereka secara langsung itu sangat berbeda. Saya jadi mengetahui problem-problem kesejahteraan rakyat secara langsung di lapangan, dengan mata kepala saya sendiri.
Persepsi saya juga banyak berubah. Dulu saya takut dengan orang yang menderita HIV/AIDS. Jangankan bersalaman, berdekatan saja saya takut. Namun dengan menjadi Menko Kesra saya mendapat informasi dan berinteraksi langsung dengan mereka. Saya kemudian berani berpelukan dengan mereka. Bahkan saya mengangkat penderita HIV/AIDS menjadi salah satu anggota komisi penanggulangan HIV/AIDS, meski banyak yang menentang awalnya.
Contoh lain dulu saya tidak mau makan ikan lele, ikan ini menurut saya kotor dan jorok. Tetapi setelah jadi menteri dan melihat sendiri peternakannya, saya jadi suka ikan lele. Selain itu, masih banyak contoh lainnya yang kesemuanya meninggalkan pengalaman berharga bagi saya.
Namun dari semua pengalaman itu ada satu pengalaman yang paling berkesan, yaitu pengalaman di Yahukimo, Papua. Saat saya berhasil menanggulangi bencana kelaparan di sana (pengalaman saya di Yahukimo, bisa dibaca di artikel ini).
Alhamdulilla dengan kerja keras itu bukan hanya kelaparan yang dapat diatasi, namun banyak juga saudara kita yang sebelumnya memilih bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka, mau kembali ke NKRI, setelah kita memberikan mereka kesejahteraan (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini).
Selain itu semua tentu saja masih banyak pengalaman menarik dan berharga lainnya saat saya menjadi Menko Kesra. Seperti cara penanggulangan kemiskinan (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini), PNPM Mandiri (tulisan soal ini bisa dibaca di artikel ini), dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya yang masih berjalan sampai saat ini.
Untuk pengabdian saya di Kemenko Kesra ini, bahkan mendapat apresiasi dari negara. Jumat, 12 Agustus 2011, saya mendapatkan Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana atas pencapaian saya selama mengabdi sebagai Menko Kesra. Tapi tentu saja pengalaman yang saya dapat selama terjun ke masyarakat dan menanggulangi segala problemanya jauh lebih berharga.
Setelah tidak lagi di pemerintahan pada tahun 2009, saya kemudian menjadi ketua umum Partai Golkar. Sampai di sini masih belum terpikir juga keinginan untuk maju sebagai capres. Karena itu, dulu setiap ditanya apakah mau jadi capres, saya selalu bilang: terpikirkan saja belum.
Tetapi dengan berjalannya waktu, saya mulai berpikir, dengan segala pengalaman saya itu, apakah pengalaman yang diberikan Allah itu saya buang sia-sia, atau saya abdikan kepada rakyat. Lalu saya mulai membicarakan hal itu dengan istri saya. Istri saya pada awalnya tidak setuju. Lalu saya bilang pada ibu saya, jawabannya sama, juga tidak setuju. Anak-anak dan saudara saya juga tidak setuju.
Ibu saya bahkan mengatakan saya boleh maju jadi capres jika beliau sudah wafat. Karena Ibu saya dan keluarga saya tidak tahan melihat saya diserang, dihina, dan difitnah, jika maju sebagai capres. Ini yang membuat saya selalu menunda, ketika kader saya di Partai Golkar mendesak saya maju jadi capres (Soal pencapresan saya di Partai Golkar bisa dibaca di artikel ini).
Tetapi akhirnya saya memutuskan untuk maju. Saya maju bukan untuk ambisi pribadi saya. Bukan untuk harta, karena Alhamdulillah Allah member saya rejeki yang cukup banyak. Buka untuk jabatan atau popularitas, karena Alhamdulillah saya juga sudah cukup populer dan dikenal. Bahkan pula untuk kepentingan keluarga saya, karena justru merekalah yang paling menderita dengan keputusan saya ini. Karena waktunya dengan saya jadi berkurang, ikut mendapatkan dampak serangan dari lawan-lawan politik, dan sebagainya.
Bahkan mungkin jika orang di posisi saya, mereka lebih memilih menimang cucu dan jalan-jalan ke luar ngeri menikmati hidup, daripada capek-capek turun ke daerah-daerah, menghabiskan banyak waktu, dana, dan tenaga. Tapi itu bukan pilihan saya lebih memilih pengabdian pada bangsa dan negara dengan cara maju sebagai capres.
Saya ingin pengalaman saya berguna untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa ini. Apalagi, dari kandidat yang ada, saya lihat belum ada yang mempunyai pengalaman selengkap saya. Khususnya dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Saya tidak ngoyo, karena ini bukan ambisi, tapi sebuah pengabdian. Jika masyarakat tidak memberikan kepercayaan pada saya, dan Allah tidak mengizinkan saya jadi presiden, saya legowo dan akan mengabdi pada tempat lain. Makanya saat ada majalah yang maksudnya mengejek saya dengan judul mengatakan: hanya Tuhan yang bisa menjadikan ARB presiden. Saya senyum saja. Karena itu benar. Yang bisa menjadikan saya presiden memang Tuhan, karena hidup kita ini di tangan Allah. Kalau Dia menghendaki semua terjadi, begitu pula sebaliknya.
Tapi saya sangat optimis dan bekerja keras untuk mencapai hal itu. Bagi saya dengan optimis saja kita sudah separuh menang. Saya sadar perjuangan untuk itu sangat panjang dan terjal. Saya mengibaratkannya seperti mendaki Gunung Semeru. Tapi saya senang dengan tantangan, karena tantangan membuat adrenalin saya naik. Tantangan lah yang sesungguhnya membuat hidup kita lebih berarti dan bermakna. Alhamdulillah selama ini banyak tantangan dalam hidup ini yang berhasil saya lewati dan selesaikan dengan baik.
Saya sudah memilih. Saya siap dengan segala resikonya. Ibarat sebuah pohon: makin tinggi pohon makin
kencang anginnya. Tapi saya memilih jadi pohon yang tinggi, meski angin begitu kencang menyerang. Saya tidak mau menjadi rumput yang ada di bawah. Karena meski tak diterpa angin kencang, rumput diinjak-injak orang.
Itulah cerita mengapa saya maju menjadi capres. Sebuah proses pengabdian bagi bangsa, bukan sebuah ambisi pribadi. Semoga Allah SWT meridhoi melancarkan jalan saya, dan semoga rakyat Indonesia mendukung saya untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa ini.
Langganan:
Postingan (Atom)